9 Juli 2012

ANALISIS KOHESI DAN KOHERENSI ARTIKEL POPULER DIMENSI INTERNASIONAL SUPERSEMAR Nanda Evawandry, S.Pd.

A.    Analisis Kohesi dan Koherensi dalam Paragraf
1.    Pembicaraan tentang Surat Perintah 11 Maret 1966 umumnya menyangkut naskah asli dokumen tersebut atau tentang cara pemerolehannya yang tak biasa. Arsip Supersemar yang otentik belum ditemukan sampai sekarang dan dipercayai bahwa perintah itu diberikan bukanlah atas prakarsa Presiden Soekarno (Bung Karno), melainkan atas tekanan terhadap Bung Karno.

Analisisnya: Paragraf 1 merupakan paragraf yang padu (mengandung kohesi), kata tersebut dan kata ganti nya  serta kata penunjuk itu yang dicetak tebal mengacu kepada Supersemar (kekohesian pengacuan). Paragraf 1 merupakan paragraf yang koheren, karena tampak hubungan antarkonsep, atau gagasan di dalamnya konsisten sehingga paragraf dapat dipahami (adanya kesatuan makna, dan mudah dipahami)
2.    Jarang disinggung aspek internasional surat itu. Padahal, itu berkaitan dengan perubahan sejarah yang sangat besar terhadap negara dan bangsa Indonesia setelah 1965. Begitu diterima, Supersemar digunakan untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia sejak 12 Maret 1966.

Analisisnya: Paragraf 2 merupakan paragraf yang padu (terdapat kekohesian), kata penunjuk itu mengacu kepada Supersemar dan aspek internasional Supersemar pertalian kekohesian karena pengacuan/ referensi). Paragraf 2 ini juga koheren, karena tampak hubungan antarkonsep atau gagasan, sehingga paragraf dapat dipahami. Paragraf 2 dan paragraf 1 kohesi dan koheren, kedua paragraf saling berhubungan antarkonsep dan gagasan serta penggunaan pemarkah kohesi kata penunjuk itu.
3.    Memang ini merupakan tuntutan dari berbagai gerakan kesatuan aksi di Tanah Air. Namun, tidak kalah pentingnya tindakan itu prasyarat masuknya modal asing Barat ke Indonesia. Beberapa hari setelah Supersemar dikeluarkan, teknisi Freeport sudah mendaki gunung di Papua. Karena belum ada aturannya, Amerika Serikat mengirim konsultan untuk membantu membuatkan undang-undang penanaman modal asing.

Analisisnya: Paragraf 3 merupakan paragraf padu (mengandung kohesi), kata penunjuk ini dan itu mengacu kepada aspek internasional Supersemar yang terdapat dalam paragraf 2 (aspek internasional Supersemar disubstitusi oleh kata penunjuk ini). Penggunaan konjungtor namun dan karena menyatakan hubungan pertentangan dan hubungan klausal sehingga paragraf menjadi kohesif. Penggunaan kata ganti nya juga mengacu pada aspek internasional Supersemar dan prasyarat penanaman modal. Paragraf 3 merupakan paragraf yang koheren, terdapat hubungan antarkonsep/gagasan. Paragraf 3 dan paragraf 2 kohesi dan koheren karena terdapat hubungan antarkonsep /gagasan kedua paragraf itu sehingga terbentuk pertalian makna yang mudah dipahami.
4.    AS dan Inggris adalah dua negara yang sangat berkepentingan dengan perkembangan politik di Indonesia tahun 1965 dan sebelumnya. AS yang sedang berperang di Vietnam tidak ingin Indonesia jatuh ke tangan komunis. Inggris juga menginginkan hal serupa karena sedang membantu Malaysia menghadapi konfrontasi dengan Indonesia.

Analisisnya: hal serupa merupakan substitusi dari klausa tidak ingin Indonesia jatuh ke tangan komunis. Penggunaan konjungtor karena menyatakan hubungan kausal sehingga paragraf 4 ini kohesif dan koheren terdapat
    hubungan antarkonsep/gagasan. Paragraf 4 dengan paragraf 3 juga  kohesif dan koheren, sebab tampak hubungan antarkonsep/gagasan, yaitu AS.
5.    AS menyerahkan daftar nama pengurus PKI dan bantuan uang Rp 50 juta untuk Komite Aksi Pengganyangan Gestapu. Inggris mengirim agennya, Norman Reddway, untuk membentuk sebuah lembaga di Singapura dan dari sana melancarkan kampanye antikomunis.

Analisisnya: Penggunaan kata ganti nya mengacu kepada Norman Reddway menjadikan paragraf 5 ini kohesif. Paragraf 5 ini koheren karena terdapat hubungan antarkonsep/gagasan yaitu, komunis. Paragraf 5 dan paragraf 4 kohesif dan koheran karena terdapat hubungan antarkonsep/gagasan, yaitu dua negara yang berkepentingan terhadap politik Indonesia.
6.    Seminar internasional “Indonesia and the World in 1965” yang diadakan di Jakarta, Januari 2011, mengungkapkan banyak hal tentang keterlibatan berbagai negara besar di seputar keluarnya Supersemar. Sayangnya, belum ada sejarawan yang menggunakan arsip China tentang peristiwa tersebut.

Analisisnya: Kata tersebut, mengacu pada peristiwa keterlibatan berbagai negara seputar  keluarnya supersemar. Penggunaan konjungtor nya mengacu kepada seputar keluarnya Supersemar (kekohesiaan terbentuk karena pengacuan/referensi). Paragraf 6 ini kohesif dan koheren (terdapat hubungan antarkosep/gagasan). Paragraf 6 dan paragraf 5 juga kohesif dan koheren sebab ada hubungan antarkonsep/gagasan yang dapat dipahami.
7.    Ragna Boden yang meneliti arsip Uni Sovyet menyimpulkan bahwa Moskwa tidak terlibat dalam kudeta. Negara ini cenderung bersikap oportunitis. Mereka tidak berani, misalnya, menampung tokoh PKI yang diburu aparat keamanan di kedutaan besar mereka.

Analisisnya: Paragraf 7 merupakan paragraf yang padu, penggunaan pemarkah kohesi penunjuk ini mengacu kepada Moskwa dan penggunaan kata ganti mereka merupakan substitusi dari Negara Maskwa. Paragraf 7 ini juga koheren karena terdapat hubungan antarkonsep/gagasan, yaitu tidak terlibatnya negara Moskwa dalam kudeta. Paragraf 7 dan paragraf 6 kohesif dan koheren sebab terdapat hubungan antarkonsep/gagasan, yaitu arsip negara.
8.    Pada sebuah kesempatan di Tokyo, Aiko Kurosawa mengatakan kepada saya bahwa saat terjadi G30S 1965, duta besar Jepang di Jakarta sedang berada di Jawa Timur. “Ini membuktikan bahwa sang diplomat tidak tahu apa-apa tentang kudeta tersebut,” kata guru besar Universitas Keio itu. Namun, pertanyaannya dapat dibalik: kenapa sang dubes berkunjung ke Jawa Timur pada saat genting?

Analisisnya: Paragraf 8 merupakan paragraf yang padu, terdapat penggunaan pemarkah kohesi, diantaranya: penggunaan kata ganti saya mengacu kepada penulis artikel Asvi Warman Adam, penggunaan kata penunjuk ini mengacu kepada duta besar Jepang di Jakarta sedang berada di Jawa Timur, sedangkan penggunaan kata penunjuk itu mengacu kepada Aiko Kurosawa, dan penggunaan kata namun menyatakan adanya pemarkah kohesi  hubungan pertentangan. Karena penggunaan pemarkah kohesi dan terdapat hubungan antarkonsep/gagasan yang mudah dipahami dalam paragraf,  sehingga paragraf 8 menjadi koheren. Paragraf 8 dan paragraf 7 kohesi dan koheren sebab ada hubungan antarkonsep/gagasan, yaitu tidak terlibat dalam kudeta.
9.    Dubes Perancis di Jakarta tahun 1965 adalah Claude Cheysson, seorang sosialis yang dekat dengan Presiden Francois Mitterand. Bahkan, kemudian ia diangkat menjadi menteri luar negeri Perancis. Perlu pelacakan arsip di Paris tentang apa yang dilakukan  dan dilaporkan sang dubes dari Jakarta tahun 1965 karena, menurut Dubes AS Marshal Green, para diplomat Barat itu sering saling kontak.

Analisisnya: Paragraf 9 merupakan paragraf kohesif sebab terdapat penggunaan pemarkah kohesi, diantaranya: penggunaan konjungtor bahkan menyatakan hubungan peningkatan, penggunaan kata ganti ia mengacu kepada Claude Cheysson yang disubstitusikan, konjungtor karena menyatakan hubungan kausal, dan kata ganti itu mengacu kepada para diplomat Barat. Paragraf 9 koheren sebab ada hubugan antarkonsep/gagasan sehingga paragraf mudah dipahami. Paragraf 9 dan paragraf 8 kohesi dan koheren karena terdapat hubungan antarkonsep/gagasan, yaitu arsip negara yang menyatakan tidak terlibat dalam kudeta..
10.    Sementara itu, reportase dan analisis pers Perancis tentang Indonesia tahun 1965/1966 tidaklah mendalam, seperti diakui pakar Perancis Francois Raillon. Tanggal 22 Maret 1966 koran Le Monde menurunkan artikel panjang berisi puji-pujian tentang Soeharto yang dianggap tokoh alternatif bagi Indonesia.

Analisisnya: Frase sementara itu, merupakan pemarkah yang menghubungkan
 paragraf 10 dengan paragraf sebelumnya. Hubungan antarkonsep/gagasan dalam paragraf tidak menunjukkan kekohesian, akan tetapi terdapat hubungan yang koheren antara paragraf 10 dan paragraf 9 karena adanya pemarkah sementara itu.
11.    Tahun 1965 terdapat dua Jerman di Jakarta: Jerman Barat yang telah membuka kedutaan besar sejak 1952 dan Jerman Timur yang berstatus konsulat. Keduanya saling bersaing dan pihak Jerman Barat merintangi pengakuan Negara asing  terhadap Jerman Timur (waktu itu baru belasan Negara).

Analisisnya: Paragraf 11 merupakan paragraf yang padu, kata ganti nya mengacu  kepada Negara Jerman Barat dan Jerman Timur. Paragraf 11 juga koheren karena adanya hubungan antarkonsep/gagasan yang mudah dipahami. Paragraf 11 dan paragraf 10 tidak koheren karena tidak terdapat hubungan antarkonsep/gagasan yang berkaitan antara kedua paragraf itu.
12.    Kedutaan Besar Jerman Timur baru dibuka pada era Orde Baru. Namun, kedua Jerman itu bersikap skeptif terhadap politik luar negeri Indonesia dan  perkembangan PKI. Dalam ulang tahun PKI (Mei 1965) negara komunis Jerman Timur tidak diundang. Setelah meletus G30S, Jerman Barat melihat peluang ekonomi di Indonesia. Duta Besar Kurt Luedde-Neurath mengatakan “kesempatan itu harus diambil, jangan dilepaskan.”

Analisisnya: Paragraf 12 merupakan paragraf yang padu, konjungtor namun, adalah penggunaan pemarkah yang menyatakan  pertentangan, kata ganti itu mengacu kepada Jerman Barat, Jerman Timur dan peluang ekonomi. Paragraf 12 ini koheren karena terdapat hubungan antarkonsep/gagasan yang mudah dipahami. Paragraf 12 dan paragraf 11 kohesi dan koheren karena terdapat hubungan antarkonsep/gagasan yang relevan, yaitu tentang dua Jerman (Jerman Barat dan Jerman Timur).     
13.    Richard Tanter mengungkapkan betapa sedikit pengetahuan masyarakat Australia tentang pembantaian massal tahun1965 di Indonesia ketimbang pembantaian oleh Nazi Jerman, rezim Stalin Rusia, atau Khmer Merah Kamboja. Suatu masa pernah citra Indonesia buruk di mata sejumlah orang Australia justru karena peristiwa Timor Timur, bukan karena kasus 1965. Tanter mencoba memperlihatkan bahwa pers, akademisi, dan politisi Australia tahu pembantaian tahun 1965. Namun, mereka bungkam dan tidak berbuat apa-apa.

Analisisnya: Paragraf 13 merupakan paragraf yang kohesif, penggunaan pemarkah kohesi konjungtor namun menyatakan hubungan pertentangan dan penggunaan kata ganti mereka mengacu kepada politisi Australia yang disubstitusikan. Kata namun, mereka adalah pemarkah kohesi sebagai penanda kekohesian paragraf ini. Paragraf 13 ini juga koheren sebab terdapat hubungan antarkonsep/gagasan yang relevan dan mudah dipahami. Paragraf 13 dengan paragraf 12 menunjukkan kekoherensian, sebab terdapat hubungan antarkonsep/gagasan yang relevan, yaitu negara-negara yang merasa tidak terlibat kudeta di Indonesia. 
14.    Yang disampaikan Paul Keating tahun 2008 mungkin bisa menjawab sikap politisi Australia yang mendua itu: “Andai kata Orde Baru tidak menyingkirkan Soekarno dan PKI, akan terjadi destabilitasi di Australia dan seluruh Asia Tenggara.”

Analisisnya: Paragraf 14 merupakan paragraf yang padu, kata penunjuk itu mengacu kepada sikap Australia mengetahui tetapi bungkam perihal peristiwa pembantaian masal di Indonesia tahun1965. Paragraf 14 juga koheran karena terdapat hubungan antarkonsep/gagasan yang mudah dipahami. Paragraf 14 dengan paragraf 13 koheren karena terdapat hubungan antarkonsep/gagasan yaitu sikap Australia terhadap kudeta yang terjadi di Indonesia.
B.    Kesimpulan
Secara umum keempat belas paragraf artikel ini merupakan paragraf yang padu (terdapat kekohesian). Hal ini, disamping karena terdapatnya penggunaan pemarkah kohesi (konjungtor, kata ganti penunjuk, dan kata ganti orang) yang digunakan, juga karena terdapatnya pengacuan/referensi dan substitusi antarkalimat dengan kalimat lainnya. Oleh karena itu dapat juga disimpulkan bahwa paragraf-paragraf tersebut juga koheren karena adanya hubungan antarkonsep/gagasan sehingga paragraf mudah dipahami.
Antara paragraf satu dengan paragraf lainnya, secara umum terdapat kekoherensian, pertalian antarkonsep/gagasan. Pengacuan/referensi yang menjadikan masing-masing paragraf saling terkait sehingga diperoleh pemahaman makna antarkonsep/gagasan yang mudah dipahami.


DAFTAR RUJUKAN
Idat, T. Fatimah DJ.1994. Wacana Pemahaman dan Hubungan Antarstruktur. Bandung: PT. Eresco

Juita, Novia. 1999. Wacana Bahasa Indonesia. Bahan Ajar. DIP Universitas Negeri Padang.

Kusuma Sumantri Zaimar, Okke. Telaah Wacana. Jakarta: The Intercultural Insitute.

Syamsidar. 1992. Studi Wacana. Teori-Analisis-Pengajaran. Bandung: Mimbar Pendidikan Bahasa dan Seni FPBS IKIP Bandung.

PENDIDIKAN PANCASILA ATAU PANCASILA DALAM PENDIDIKAN? (Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk) Oleh Nanda Evawandry, S.Pd.

A.    Analisis Sosial
UU Sisdiknas (UU Nomor 20 tahun 2003) dianggap berpaham pasar bebas atau kapitalisme. Dasar pernyataan yang dipicu oleh kebijakan penghilangan pendidikan Pancasila dari kurikulum pendidikan di Indonesia. Hegemoni yang berkembang bahwa pada zaman Orde Baru pendidikan Pancasila, termasuk penataran P4-nya, adalah usaha untuk melanggengkan dan memperkokoh kekuasaan penguasa. Pancasila dijadikan senjata oleh penguasa untuk melanggengkan hegemoni mereka dengan cara merangkul orang-orang lapisan atas, para kroni, serta keluarga elit penguasa. Mereka diberi lisensi perdagangan yang amat berlebihan, hak monopoli, dll.
Sejarah mengungkapkan, ketika pertama kali Bung Karno mengurai Pancasila dalam pidatonya 16 Mei-3 Juni 1956 di Amerika dengan penuh percaya diri. Setiap sila disebutkan disambut tepuk tangan hadirin dan diakhiri aplaus panjang. Keberanian Bung Karno mengampanyekan Pancasila kepada dunia seharusnya menyadarkan kita begitu pentingnya Pancasila bagi sebuah negara yang bernama Indonesia. Pancasila merupakan pancaran karakter keindonesiaan, sesuai karekteristik lingkungan alamnya, sebagai negeri lautan yang ditaburi pulau-pulau.
Lahirnya reformasi yang notabene dianggap mampu membuat hengkangnya Sang Penguasa Orde Baru dari tahtanya jelas-jelas ingin mengikis habis semua irama roda pemerinthan di masa rezim Sang Penguasa. Segala kebijakkan dan corak pemerintahan pada masa itu seakan ingin di hapus dengan bentuk baru yang didengung-dengungkan, yaitu reformasi. Kikisnya hingga jatuhnya “kekuasaan panjang” sang Presiden diikuti dengan usaha penghilangan hegemoni yang berkembang. Pertanyaannya, Apakah juga harus mengikis Pancasila atau Mengapa Pancasila begitu penting?

B.    Analisis Teks
Untuk menganalis empat teks berita yang terlampir, susuai cara yang dilakukan Van Dijk, maka keempat teks tersebut akan dianalis dengan tiga tingkatan:
1.    Struktur Makro (Tematik)
Dalam buku Eriyanto (Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, 2009) menyatakan bahwa Van Dijk menganalisis suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang masing-masingnya saling mendukung. Sruktur mikro merupakan makna global/ umum dari suatu teks atau tema yang dikedepankan dalam suatu teks berita.
Apabila kita baca keempat teks berita yang terlampir, jelas bagi kita bahwa topik yang dibahas keempat teks berita tersebut adalah sama. Tema atau topik bahasan menyangkut penghapusan pendidikan Pancasila dalam UU Sisdiknas dari tingkat dasar hingga ke perguruan tinggi, sehingga mata pelajaran itu tidak diajarkan lagi.
2.    Superstruktur (Skematik)
Tingkatan ini merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks (seperti bagian pendahuluan, isi penutup, dan kesimpulan), bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita yang utuh. Untuk menganalisi teks berita pada tingkatan ini, ada baiknya kita analisis satu per satu teks berita yang dilampirkan.


a.    Teks Berita 1 ( Pendidikan Pancasila Dihapus Nilai-nilai Toleransi Ditinggalkan, Kompas, Jumat 6 Mei 2011)

Skematik yang digunakan wartawan pada teks berita ini terlihat adanya summary, yang ditandai dua elemen yaitu judul dan lead. Judul dan lead yang digunakan untuk menunjukkan tema yang ingin ditampilkan oleh wartawan. Judul teks berita Pendidikan Pancasila Dihapus Nilai-nilai Toleransi Ditinggalkan, lead yang digunakan adalah lead ringkasan yang mengantar pembaca pada topik yang akan disampaikan. Story atau isi berita keseluruhannya disajikan dalam dua subkategori. Pertama, situasi (proses atau jalannya peristiwa), yaitu menampilkan situasi pada sejumlah guru di daerah yang dikatakan sulit menanamkan nilai-nilai seperti musyawarah, gotong royong, dan toleransi beragama kepada siswanya karena pelajaran pendidikan Pancasila dihapuskan dan lebih difokuskannya kepada pelajaran kewarganegaraan yang lebih menekankan kepada aspek wacana dan hafalan. Kedua, komentar yang ditampilkan dalam teks, yaitu wartawan menampilkan beberapa komentar dari narasumber beritanya, diantaranya komentar Kepala SMAN 1 Lawa, Sulteng, Kepala SMA Pembangunan Yogyakarta, guru PKN SMAN 13 Jakarta, Kepala Pusat Studi Pancasila UGM Yogyakarta, guru PKN SMAN 1 Palembang, guru SMAN 10 Medan, Ketua Himpunan Pengembangan Kuriklum Indonesia, dan anggota BSNP.
b.    Teks Berita 2 (Ajaran Pancasila Harus Direvitalisasi Tumbuhkan Lagi Kerukunan dan Gotong Royong, Kompas, Sabtu 7 Mei 2011)

Skematik teks berita dua ini juga menggunakan lead ringkasan di samping adanya judul yang menunjukkan atau mengarahkan kepada tema yang dibahas dalam teks berita. Dalam teks berita kedua ini, wartawan tidak memulai beritanya dengan story situasi, melainkan wartawan memulai beritanya dengan menampilkan komentar dari beberapa nara sumber.  Story situasi disajikan dalam bentuk data yang wartawan ambil dari sumber yang mendukung berita yang akan disampaikan (Litbang Kompas).
c.    Teks Berita 3 (Pendidikan Pancasila Kurikulum Pendidikan Harus Dirubah, Kompas, Rabu 11 Mei 2011)

Dalam teks berita ketiga ditemukan summary yang disajikan oleh wartawan masih menggunakan dua elemen, yaitu judul dan lead. Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa judul dan lead ini menunjukkan pengarahan pembaca kepada topik yang dibahas oleh wartawan. Lead pada teks berita menggunakan lead kutipan, yaitu memulainya dengan kutipan pokok pikiran yang disampaikan Dedi Gumelar (anggota Komisi X DPR), yaitu, “Kurikulum pendidikan nasional harus segera diubah dengan memasukkan kembali materi ajar nilai-nilai Pancasila, seperti kerukunan, musyawarah, gotong royong, dan nilai-nilai luhur lainnya,” dan seterusnya (dapat dibaca dalam teks berita yang dilampirkan). Story atau isi berita keseluruhannya disajikan dalam dua subkategori. Pertama, situasi (proses atau jalannya peristiwa) dan kedua subkategori komentar, yaitu tampilan pendapat dan komentar dari beberapa nara sumber sampai pada akhir berita disajikan.
d.    Teks Berita 4 (UU Sisdiknas Berpaham Pasar Bebas Nilai-nilai Pancasila Tidak Menjadi Landasan, Kompas, Kamis 12 Mei 2011)

Dua elemen summary juga digunakan dalam teks berita kekempat ini, yaitu elemen judul dan lead. Lead pada teks berita keempat menggunakan lead menuding langsung, yaitu wartawan menuding langsung pada suatu kebijakan yang menghilangkan pendidikan Pancasila dihapuskan dalam UU Sisdiknas. Lead tersebut berbunyi , “Bukan susuatu yang aneh jika pendidikan Pancasila  tidak lagi diajarkan   di semua jenjang pendidikan di Indonesia. Ini disebabkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi acuan berpaham pasar bebas atau kapitalisme.” Story atau isi berita keseluruhannya disajikan dalam dua subkategori. Pertama, situasi (proses atau jalannya peristiwa), yaitu dengan mengungkapkan penjelasan paham kapitalisme yang dimaksudkan wartawan dalam lead. Kedua, komentar yang ditampilkan dalam teks, yaitu komentr dari Guru Besar Pancasila Universitas Nusa Cendana Kupang, Koordinator Koalisi Pendidikan, Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Direktur Eksklusif Institute for Reform Universitas Paramadina sampai pada akhir berita disajikan.
3.    Struktur Mikro (Semantik)
Menurut Van Dijk (dalam Eriyanto, Analisi Wacana Pengantar Analisis Teks Media, 2009), struktur mikro adalah makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat dan gaya yang dipakai oleh suatu teks. Dengan kata lain, struktur mikro ini adalah makna yang ingin ditekankan dalam teks berita. Misal, dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisit satu sisi dan mengurangi detil sisi lain. Jadi, mencakup analisis mengenai detil, maksud, praanggapan, dan normalisasi. Berikut ini diberikan contoh analisis satu teks berita saja, yaitu teks berita 1.

Analisis Teks Berita 1
1)    Latar, merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi semantik (arti) yang ingin ditampilan wartawan ketika menulis beritanya. Menurut Eriyanto (Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, 2009), latar berita ini biasanya ditampilkan di awal, latar dipilih menentukan ke arah mana pandangan khalayak hendak dibawa. Latar teks berita 1 ini adalah:
Dihapuskannya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi hanya Pendidikan di semua jenjang pendidikan membawa konsekuensi ditinggalkannya  nilai-nilai Pancasila, seperti musyawarah, gotong royong, kerukunan dan toleransi beragama. Padahal nilai-nilai seperti itu kini sangat dibutuhkan untuk menjaga keutuhan suatu bangsa yang pluralistis.

Kita dapat menganalisis maksud yang ingin dikemukakan wartawan sesungguhnya, walaupun tidak secara eksplisit dikemukakan, jelas pada latar yang ditulis wartawan pada teks berita 1 mengisyaratkan ketidaksetujuan wartawan atas dihapuskannya pendidikan Pancasila di semua jenjang pendidikan dan menegaskan padahal nilai-nilai Pancasila sangat dibutuhkan untuk menjaga keutuhan suatu bangsa yang pluralistis.

2)     Detil, merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan sikapnya dengan cara yang implisit. Wartawan menguraikan dengan detil isi beritanya. Karena di awal tadi wartawan sudah membawa pembaca pada konsekuensi ditinggalkannya nilai-nilai Pancasila karena penghapusan pendidikan Pancasila, maka untuk menggiring pembaca selanjutnya pada maksud wartawan, dihadirkan sejumlah komentar yang secara tidak langsung membenarkan latar belakang yang dikemukakan wartawan. Detil isi berita itu adalah:
Sejumlah guru di beberapa daerah mengatakan kini sulit menanamkan nilai-nilai seperti musyawarah, gotong royong, dan toleransi beragama kepada murid-muridnya karena pelajaran kewarganegaraan lebih menekankan aspek wacana dan hafalan.

Sesuai kurikulum, materi yang diberikan memang hanya hafalan dan penambahan pengetahuan. Sedikit peluang penanaman nilai dan pembentukan moral anak.

Dijenjang SMA misalnya, ditekankan soal hakikat Negara dan bentuk-bentuk kenegaraan, system huku dan peradilan nasional, serta peranan lembaga-lembaga peradilan. Ditekankan pula soal partai politik, pemberantasan korupsi, penegakkan hak asasi manusia, serta kedudukan warga negara. Pancasila hanya disinggung sedikit di kelas III (XII) SMA semester pertama. Itu pun hanya 1 bab materi Pancasila sebagai ideologi terbuka.

Pendidikan Pancasila semestinya menjadi “pintu masuk” untuk pendidikan dan pembentukan karakter siswa serta penanaman nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme dan patriolisme dan seterusnya.

Dengan pola yang digunakan wartawan ini, posisi “pemerintah” sebagai pembuat kebijakan penghapusan pendidikan Pancasila tersebut menjadi tidak legitimate, seakan menjadi pemicu terjadinya konsekuensi dari penghapusan pendidikan Pancasila tersebut. Sebaliknya, masyarakat, khususnya tenaga pendidik, dan wartawan serta pihak-pihak lain yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut berada pada posisi legitimate.

3)    Maksud, menunjukkan bagaimana secara implisit dan tersembunyi wartawan menggunakan praktik bahasa tertentu untuk menonjolkan basis kebenarannya dan secara implisit juga menyingkirkan versi kebenaran lainnya. Dalam teks berita ini terlihat sekali maksud seperti yang disebutkan di atas, kita lihat saja dari mulai penulisan latar belakang berita hingga pada pengungkapan detil isi berita, komentator diposisikan wartawan secara tidak langsung untuk mendukung maksud yang ingin disampaikannya. Namun pada sisi lain wartawan juga menampilkan pendapat anggota BSNP yang mengatakan nilai-nilai Pancasila sebenarnya sudah termuat dalam kurikulum pendidikan nasional sejak pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Namun, pemahaman guru yang masih terbatas pada tekstual dan belum sampai pada pemahaman kontekstual. Dalam kasus ini wartawan seakan membentrokan pendapat komentator sehingga menjadi hal yang membingungkan bagi pembaca. Walaupun begitu, dalam teks berita ini bagian komentar yang tidak mendukung  dihapuskannya Pendidikan Pancasila lebih ditonjolkan. Artinya wartawan lebih menonjolkan ketidaksetujuan penghapusan pendidikan Pancasila dan basis lainnya tersingkirkan (seperti komentar anggota BSNP di atas).

4)    Koheransi, pertalian atau jalinan antarkata, atau antarkalimat dalam teks. Kita akan menganalisis koherensi yang terdapat dalam teks berita 1. Misalnya, kita lihat pada paragraf pertama,
(K1) Dihapuskannya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi hanya Pendidikan Kewarganegaraan di semua jenjang pendidikan membawa konsekuensi ditinggalkannya nilai-nilai Pancasila, seperti musyawarah, gotong royong, kerukunan, dan toleransi beragama. (K2)Padahal nilai-nilai seperti itu kini sangat dibutuhkan untuk menjaga keutuhan suatu bangsa yang pluralistis.

Analisis paragraf pertama teks berita ini adalah, kalimat 1 (K1) dengan kalimat 2 (K2) menjadi berhubungan ketika ia dihubungkan oleh kata padahal sehingga membentuk hubungan kausal dan koherensi kondisional (K2 sebagai anak kalimat yang menjelaskan K1). Kedua kalimat dalam paragraf tersebut mempunyai pertalian yang tidak terpisah, saling menjelaskan dan menguatkan, yaitu K1 menjelaskan dan K2 menguatkan pernyataan pada K1. Jadi, dapat dikatakan paragraf pertama teks berita ini koheren. Pada paragraf kedua dan ketiga juga koheren, yaitu dengan adanya kalimat Sesuai kurikulum, materi yang diberikan memang hanya hafalan dan penambahan pengetahuan pada paragraf ketiga memberi penguatan terhadap yang disampaikan pada paragraf  kedua. Demikian seterusnya, proposisi  yang  berbeda dalam setiap paragraf  dihubungkan oleh kata penghubung (konjungsi), pengacuan, hubungan keadaan, kondisi, dan hubungan kausal dengan paragraf sebelumnya. Dalam paragraf terakhir, terdapat hoherensi pembeda, sebab paragraf ini seolah-olah bertentangan dan berseberangan dengan fakta yang dikemukakan pada paragraf-paragraf sebelumnya.

5)    Pengingkaran, merupakan bentuk strategi wacana di mana wartawan tidak secara tegas dan eksplisit menyampaikan pendapat dan gagasannya pada khalayak. Apabila kita analisis pengingkaran pada teks berita 1 ini jelas sekali terlihat bahwa wartawan tidak tegas menyampaikan pendapat dan gagasannya. Wartawan hanya mengurai isi berita melalui komentar beberapa nara sumber dengan tidak mencantumkan sedikitpun komentarnya secara eksplisit. Namun secara implisit kita dapat menangkap bahwa wartawan juga sependapat dengan pendapat nara sumber yang menyampaikan ketidaksetujuan mereka terhadap kebijakan penghapusan pendidikan Pancasila dari UU Sisdiknas. Hal ini juga dapat dilihat dari penampilan data perjalanan pendidikan nilai-nilai Pancasila yang diambil dari sumber Litbang Kompas, dan berita-berita “Kompas” oleh wartawan. Ini jelas menunjukkan pendapat dan gagasan wartawan secara implisit itu.

6)    Bentuk Kalimat, segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, yaitu prinsip kausalitas. Bentuk kalimat ini menentukan apakah subjek diekspresikan secara eksplisit atau implisit dalam teks. Sekarang, kita coba menganalisis bentuk kalimat yang digunakan dalam teks berita 1 ini.
a)    Kalimat  Dihapuskannya (P) Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan menjadi hanya Pendidikan Kewarganegaraan (S) di semua jenjang pendidikan membawa konsekuensi ditinggalkannya nilai-nilai Pancasila, seperti musyawarah, gotong royong, kerukunan, dan toleransi beragama. Apabila dilihat struktur kalimatnya, kalimat pertama ini menggunakan bentuk pasif (prediketnya berawalan di-) dan deduktif (inti kalimat ditempatkan dibagian muka). Artinya, kalimat pertama ini lebih menonjolkan dan memfokuskan pada maksud dihapuskannya Pendidikan Pancasila.
b)    Kalimat Padahal nilai—nilai seperti itu kini (S) sangat dibutuhkan (P) untuk menjaga keutuhan suatu bangsa yang pluralitas (O). Struktur  kalimat kedua adalah pasif, prediketnya berawalan di-. Wartawan bermaksud ingin memonjolkan dan memfokuskan pada nilai-nilai Pancasila. Bentuk kalimatnya deduktif yaitu dengan menempatkan inti kalimat di bagian muka.
c)    Kalimat Sejumlah guru di beberapa daerah (S) mengatakan (P), kini sangat sulit menanamkan nilai-nilai seperti musyawarah, gotong royong, dan toleransi beragama kepada murid-murid karena pelajaran pelajaran Kewarganegaraan lebih menekankan aspek wacana dan hafalan. Pada kalimat ketiga ini wartawan menggunakan bentuk aktif (prediketnya berawalan me-), memposisikan sejumlah guru dibeberapa daerah menjadi subjek pernyataannya. Di samping itu bentuk kalimat kertiga ini adalah deduktif, yaitu dengan menempatkan inti kalimat dibagian muka.
d)    Kalimat Sesuai kurikulum, materi (S) yang diberikan (P) memang hanya hafalan dan penambahan pengetahuan. Bentuk kalimat pasif (prediket berawalan di-) dan deduktif (inti kalimat ditempatkan pada bagaian muka). Wartawan lebih menonjolkan dan memfokuskan pada materi.
e)    Kalimat Di jenjang SMA misalnya, ditekankan (P) soal hakikat Negara dan bentuk-bentuk kenegaraan, sistem hukum dan peradilan nasional, serta peranan lembaga-lembaga peradilan. Bentuk kalimat pasif (prediketnya berawalan di-) dan deduktif (inti kalimat ditempatkan pada bagian muka). Subjek kalimat dilesapkan yaitu Pendidikan Kewarganegaraan. Wartawan lebih menonjolkan dan memfokuskan pada Pendidikan Kewarganegaraan.
f)    Kalimat Pancasila (S) hanya disinggung (P) sedikit di kelas III (XII) SMA semester pertama. Bentuk kalimat pasif (prediket berawalan di-) dan deduktif (inti kalimat ditempatkan di muka). Wartawan menonjolkan atau memfokuskan pada Pancasila, dan seterusnya (tidak  semua kalimat dalam teks berita 1dianalisis, karena hanya memberikan contoh).

7)    Kata Ganti, merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinasi. Dalam teks berita 1 ini tidak dijumpai penggunaan kata ganti oleh wartawan.
8)    Leksikon, eleman yang menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Dalam teks berita 1 ini wartawan menggunakan kata yang langsung mengungkapkan maksud (langsung pada tujuan/ sasaran), misalnya kata dihapuskannya, wartawan tidak mengganti dengan kata lain seperti tidak dicantumkannya, sebab penggunaan kata tidak mencantumkannya mengaburkan maksud atau sebagai bentuk eufemisme dari kata dihapuskannya saja.

9)    Praanggapan (Presupposition), merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks atau upaya mendukung pendapat dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. Dalam teks berita 1 ini terdapat praanggapan dihapuskannya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi hanya Pendidikan Kewarganegaraan di semua jenjang pendidikan membawa konsekuensi ditinggalkanya nilai-nilai Pancasila, seperti musyawarah, gotong royong, kerukunan, dan toleransi beragama. Mengapa kalimat tersebut dianggap praanggapan? Karena kenyataanya belum terjadi, tetapi didasarkan pada anggapan. Apakah dengan dihapuskannya Pendidikan Pancasila itu benar-benar akan ditinggalkannya nilai-nilai Pancasila? Walaupun praanggapan itu masuk akal atau logis.

10)    Grafis, merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan (yang dianggap penting) dalam sebuah teks. Termasuk di dalamya pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran lebih besar, pemakaian caption, raster, grafik, gambar, atau tabel. Apabila diperhatikan teks berita 1 ini terdapat penggunaan grafis, yaitu penggunaan gambar yang mewakili 5 sila Pancasila (bintang, pohon beringin, kepala banteng, padi dan kapas, serta rantai), juga menggunakan huruf yang dibuat dengan uuran lebih besar dan huruf tebal yaitu pada frase penghapusan disengaja dan penanaman nilai).

11)    Metafora, menyampaikan pesan pokok lewat teks, dapat berupa kepercayaan masyarakat, ungkapan sehari-hari, peribahasa, pepatah, petuah leluhur, kata-kata kuno, bahkan ungkapan yang diambil dari ayat-ayat suci yang semua dipakai untuk memperkuat pesan utama. Dalam teks berita 1 ini tidak terdapat penggunaan metafora.

C.    Kognisi Sosial
Pendekatan kognisi didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahasa, oleh karena itu dibutuhkan suatu penelitian atas representasi kognisi dan strategi wartawan dalam memproduksi suatu berita. Apabila kita melihat dari praanggapan wartawan tentang berita yang disampaikan dapat dikatakan bahwa wartawan penulis teks berita ini memiliki pengetahuan tentang topik. Pernyataan ini didukung oleh upaya yang dilakukan wartawan mencari dukungan praanggapannya dengan menampilkan komentar-komentar dari beberapa nara sumber yang berkaitan dan berkompeten dalam bidang/topik yang dibahas.

PEMBELAJARAN PUISI DENGAN MODEL CIRC (COOPERATIVE INTEGRATED READING and COMPOSITION) Oleh Nanda Evawandry, S.Pd.

A.    PENDAHULUAN
Puisi adalah karangan atau tulisan yang indah yang mempunyai makna tertentu dan mempunyai nilai estetis. (Jalil 1990:13). Menurut Aminuddin, (2000 : 7), puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, diubah dalam wujud yang paling berkesan. Karangan atau tulisan yang indah itu dapat berasal dari pengalaman penyair ataupun dari penggambaran sesuatu. Puisi diciptakan dalam suasana perasaan yang intens yang menuntut pengucapan jiwa yang spontan dan padat. Tiap karya sastra memiliki kadar keindahan tersendiri, demikian juga halnya dengan puisi. Keindahan suatu puisi dapat terlihat dalam keselarasan unsur-unsur persajakan, irama, bentuk-bentuk yang digunakan, tema, amanat, dan sebagainya. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa puisi adalah ekspresi pengalaman yang ditulis secara sistematik dengan bahasa yang puitis. Kata puitis sudah mengandung keindahan yang khusus untuk puisi. Disamping itu puisi dapat membangkitkan perasaan yang menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas atau secara umum menimbulkan keharuan.
Dalam pembelajaran puisi, hal yang harus diperhatikan adalah kemampuan siswa untuk  mencoba berkarya menulis puisi dengan kemampuan yang sudah dimiliki sehinggga terlihat manfaat pengajaran puisi yang diberikan pada siswa di sekolah. Kemampuan menulis puisi tidak lahir begitu saja tetapi sebelumnya siswa harus belajar, memiliki kemauan, kemampuan dan pengalaman serta minat yang sungguh-sungguh untuk menggali puisi sehingga siswa mampu untuk menulis puisi. Menemukan atau memilih metode yang tepat dalam pembelajaran puisi sangat dituntut agar pembelajaran puisi ini di sekolah-sekolah dapat terlaksana dengan baik. Menurut Rahmanto, (1988:116), puisi yang cocok sebagai model untuk latihan menulis, biasanya puisi yang berbentuk bebas dan sederhana, berisi hasil pengamatan yang berupa imbauan atau pernyataan.
Masalah yang ditemukan di lapangan, pembelajaran menulis puisi sulit dilaksanakan oleh guru, ini karena kemampuan guru yang belum memadai dalam hal pengetahuan maupun cara mengajarkannya. Selain faktor guru, kemampuan dan minat siswa pun menjadi penghambat dalam pembelajaran ini. Perhatian yang kurang terhadap pengajaran puisi ini menyebabkan kurang akrabnya siswa dengan puisi. Kurangnya minat dan kemampuan siswa tersebut tidak terlepas dari faktor pemilihan model pembelajaran yang cocok serta mudah untuk ditiru siswa. Hambatan terbesar dalam mempelajari puisi adalah adanya anggapan dari para siswa bahwa puisi tidak ada gunanya.
Berdasarkan hal di atas, penulis beranggapan agar siswa mampu menulis puisi bebas dengan mudah maka diperlukan model pembelajaran yang cocok serta mudah untuk ditiru.  model pembelajaran tersebut adalah CIRC ( Cooperative Integrated Reading and Composition). Terjemahan bebas dari CIRC adalah komposisi terpadu membaca dan menulis secara koperatif (kelompok). Pelaksanaannya adalah dengan membentuk kelompok heterogen empat orang, guru memberikan wacana bahan bacaan sesuai dengan materi bahan ajar, siswa bekerja sama (membaca, menemukan kata kunci, memberi tanggapan terhadap wacana kemudian menuliskan hasil kolaboratifnya, presentasi hasil kelompok dan refleksi.

B.    PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PUISI DENGAN MODEL CIRC
Menulis puisi bebas terdapat dalam silabus mata pelajaran bahasa Indonesia tingkat SMP kelas VIII semester 2 dengan standar kompetensi (SK) 16, yaitu : Mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam puisi bebas. Berdasarkan SK tersebut maka kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa dan materi pokok yang diajarkan oleh guru adalah seperti tertera pada tabel berikut:
     Tabel :  Kompetensi Dasar dan Materi Pokok Menulis Puisi Bebas
Kompetensi Dasar    Materi Pokok/ Pembelajaran
16.1  Menulis puisi bebas dengan
menggunakan pilihan kata yang sesuai    Penulisan puisi bebas dengan  pilihan kata yang sesuai
                   (Kurukulum Satuan Pendidikan Tingkat SMP Bahasa Indonesia, Tahun 2006)
Pelaksanaan pembelajaran puisi dengan model CIRC ini dikembangkan dengan menggunakan media gambar peristiwa yang diambil dari surat kabar. Gambar tersebut digunting kemudian dibagikan kepada siswa dalam kelompok yang telah dibentuk sebelumnya. Adapun kelebihan lainnya dari media gambar peristiwa yang terdapat dalam surat kabar adalah berikut:
1. Gambar-gambar tersebut mudah diamati, sehingga siswa dengan mudah dapat
mendata objek yang terdapat dalam gambar yang akan dijadikan bahan penulisan puisi.
2. Peristiwa-peristiwa tersebut berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari, sehingga siswa dengan mudah menentukan tema dan amanat yang akan dijadikan bahan penulisan puisi.
3.    Gambar-gambar tersebut sangat menarik apalagi peristiwa dalam gambar tersebut merupakan berita mengejutkan, sehingga siswa dengan mudah dapat mengubah fakta yang terdapat dalam peristiwa tersebut menjadi sebuah puisi yang menarik.
Berdasarkan kelebihan media gambar peristiwa tersebut, penerapkan pembelajaran menulis puisi bebas dengan model CIRC menggunakan media gambar berbagai peristiwa yang terdapat dalam surat kabar memberikan  hasil siswa yang pada mulanya sulit menulis serta tidak berminat pada puisi menjadi mudah dan senang menulis puisi.
Berikut ini akan diuraikan tahap-tahap pelaksanaan proses pembelajaran menulis puisi dengan model CIRC menggunakan media gambar peristiwa:

1.    Penyusunan Program Pembelajaran

Penyusunan program pembelajaran menulis puisi dengan model CIRC  menggunakan gambar peristiwa yang terdapat dalam surat kabar sesuai dengan Rencana Pembelajaran bahasa Indonesia Kelas VIII, semester 2, meliputi : a) perumusan tujuan pembelajaran, b) penentuan materi ajar, c) penentuan metode pembelajaran, d) pemilihan gambar peristiwa yang terdapat dalam surat kabar dan penulisan puisi bebas.
a. Perumusan Tujuan
Tujuan pembelajaran menulis puisi bebas berdasarkan gambar peristiwa dikembangkan berdasarkan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator berikut ini.
1). Standar Kompetensi :
Mampu mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam puisi bebas
2). Kompetensi Dasar :
Menulis puisi bebas dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai
3). Indikator :
a). Mampu mendata objek yang akan dijadikan bahan menulis puisi
b). Mampu menulis puisi dengan menggunakan pilihan kata yang tepat
c). Mampu menyunting sendiri pilihan kata puisi yang ditulis
Berdasarkan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator tersebut, tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran menulis puisi dengan model CIRC menggunakan gambar peristiwa yang terdapat dalam surat kabar, yaitu:  a) Siswa mampu menentukan data objek yang terdapat dalam gambar peristiwa untuk dijadikan puisi. b) Siswa mampu mengubah data objek yang terdapat dalam gambar peristiwa menjadi sebuah puisi dengan memperhatikan sistematika, kekhasan bahasa, dan unsur-unsur puisi. c) Siswa mampu menyunting sendiri puisi berdasarkan gambar peristiwa dengan pilihan kata yang sesuai.

b. Penentuan Materi Ajar
Penentuan materi ajar didasarkan pada materi pokok/pembelajaran yang terdapat dalam  silabus. Materi ajar/materi pembelajaran harus disesuaikan dengan: (a) tingkat kemampuan siswa, (b) perkembangan jiwa siswa, dan (c) minat siswa yang diintegrasikan dengan penanaman nilai budi pekerti. Materi ajar menulis puisi bebas berdasarkan gambar berbagai peristiwa mengacu pada teori tentang unsur-unsur puisi, yaitu sebagai berikut:
Puisi terdiri dari dua unsur yang menjadi ciri umum puisi, yaitu:
1). Unsur yang berkaitan dengan bentuk puisi terdiri dari unsur bunyi (rima dan irama), diksi atau pilihan kata, dan tampilan cetak/tulisan (tipografi).
2).  Unsur yang berkaitan dengan makna puisi terdiri dari unsur tema dan unsur pesan tersurat atau pesan tersirat (Trianto, 2006: 100).
Adapun unsur-unsur menulis puisi akan diuraikan berdasarkan dua unsur yang menjadi ciri umum puisi di atas yang dirangkum berdasarkan buku Teori dan Apresiasi Puisi serta Apresiasi Puisi karangan Waluyo (1987), adalah sebagai berikut.
1).  Unsur Bunyi (Rima dan Irama)
Rima adalah persamaan bunyi dalam puisi. Persamaan bunyi tersebut dapat berupa bunyi awal, tengah, akhir, atau persamaan bunyi konsonan pada beberapa kata. Adapun yang dimaksud dengan irama ialah alunan suara dalam perpaduan panjang – pendek, tinggi –  rendah, keras – lemah dalam pengucapan kata-katanya. Rima digunakan untuk keindahan bunyi bahasa pada puisi, sedangkan irama berfungsi memberikan keindahan dalam pengucapan. Pada puisi lama rima dan irama berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan pikiran serta membangkitkan kesan. Puisi bebas (baru) rima dan irama tidak digunakan lagi, kecuali jika diperlukan. Para penyair sekarang lebih suka menggunakan pilihan kata yang tepat untuk menguatkan kesan sebagai pengganti rima. Dalam pembelajaran menulis puisi ini, siswa dibebaskan untuk menggunakan rima yang sama atau tidak menggunakan rima.
2).  Diksi atau Pilihan Kata
Dalam sebuah puisi, pemilihan kata yang tepat dapat lebih mengungkapkan sesuatu, dapat memberikan imajinasi yang baik. Dengan demikian, kesan yang timbul akan lebih jelas dan kuat. Untuk menulis puisi bebas menggunakan gambar peristwa agar dapat menimbulkan imajinasi yang baik, gunakan gaya tertentu. Misalnya, mengubah kata-kata yang terdapat dalam gambar peristiwa yang akan dijadikan sebuah puisi dengan membandingkan hal lain atau metafora. Selain itu, dapat juga menggunakan gaya bahasa, yaitu pemakaian kata-kata yang berjiwa, segar, dan dapat menggetarkan perasaan pembaca atau pendengar.
3).  Tampilan cetak/tulisan (tipografi)
Tipografi puisi dinyatakan oleh susunan kata, baris, dan bait. Tipografi ini gunanya agar pembaca dapat memahami maksud isi puisi karena bagian-bagian itu mengandung satuan pikiran yang kemudian terjalin dalam kesatuan pilihan. Pada puisi lama tipografi puisi sangat terikat oleh susunan kata, baris, dan bait. Seperti pantun memiliki syarat, tiap bait terdiri atas empat baris, tiap baris terdiri atas 8 sampai 12 suku kata. Tipografi dalam penulisan puisi bebas menggunakan gambar peristiwa ini tidak terikat oleh jumlah susunan kata, baris, dan bait. Akan tetapi dapat kita batasi jumlah baris atau bait untuk memudahkan siswa menulis puisinya.
4).  Unsur Tema
Tema sebuah puisi ialah inti pokok yang terkandung dalam puisi. Tema menjadi landasan utama dalam menghasilkan sebuah karya. Tema dalam menulis puisi bergambar dapat dengan mudah kita tentukan dengan cara mengamati gambar peristiwa . Misalnya gambar peristiwa tersebut tentang perang yang berkecamuk, maka tema yang cocok adalah tragedi kemanusian. Tema-tema dalam puisi bebas berdasarkan gambar peristiwa dari koran biasanya bertema kemanusiaan atau protes sosial, karena berita dalam koran banyak mengangkat soal kemanusiaan atau protes sosial.
5).  Amanat (Pesan)
Amanat adalah pesan yang hendak disampaikan kepada pembaca. Tujuan menuliskan amanat merupakan hal yang mendorong siswa untuk menciptakan puisi. Amanat tersirat di balik kata-kata yang disusun dan juga berada dibalik tema yang diungkapkan. Amanat dalam penulisan puisi bebas menggunakan gambar peristiwa banyak ditujukan kepada pengambil kebijakan publik atau orang yang bertanggung jawab akan peristiwa tersebut.

c. Penentuan Metode Pembelajaran
Agar kompetensi yang diharapkan dapat terwujud maka diperlukan metode yang tepat. Metode yang digunakan dalam pembelajaran menulis puisi bebas menggunakan  gambar berbagai peristiwa yang terdapat dalam surat kabar adalah Model CIRC. Model ini mengupayakan adanya kerjasama, penggalian ide, menemukan data dan fakta melalui pemahaman terhadap gambar peristiwa yang disediakan, mendiskusikan hasil temuan kolaboratif, refleksi, dan perwujudan kedalam karya berbentuk puisi. Dasar pemikiran bahwa berkelompok akan terjadi saling bantu membantu antarsesama siswa  sehingga memudahkan siswa memahami konsep atau mengerjakan apa yang diinginkan oleh guru. Media gambar peristiwa dan contoh puisi adalah sarana untuk mengantarkan siswa kepada tujuan pembelajaran, yaitu mampu menulis puisi.

d. Pemilihan Gambar Berbagai Peristiwa dari Koran dan Puisi Model
Untuk mempermudah penyampaian materi pembelajaran, diperlukan alat/bahan/ sumber belajar. Alat/bahan/sumber belajar yang diperlukan dalam pembelajaran menulis puisi bebas adalah gambar berbagai peristiwa yaitu koran dan naskah puisi. Gambar-gambar peristiwa yang terdapat dalam surat kabar yang akan dijadikan dasar hendaknya memenuhi kriteria: (1) gambar-gambar yang jelas dan menarik perhatian siswa, (2) memiliki judul di atas gambar tersebut, (3) memiliki keterangan di bawah gambar tersebut.  Hal tersebut dimaksudkan agar siswa dapat dengan mudah mengubah gambar dan data yang ada menjadi sebuah puisi.

2.    Pelaksanaan Pembelajaran
Kegiatan inti dalam pembelajaran menulis puisi bebas menggunakan gambar berbagai peristiwa dapat dideskripsikan berikut ini. (1) Mencermati gambar dan puisi. Secara berkelompok, siswa mencermati gambar dan contoh puisi yang disajikan guru. Hal yang dicermati adalah isi puisi tersebut sesuaikah dengan gambar tersebut. (2) Menentukan unsur-unsur puisi. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana siswa mampu menentukan unsur-unsur puisi (tema, amanat, rima, diksi/pilihan kata). (3) Siswa memilih gambar peristiwa satu gambar untuk satu kelompok. Guru membagikan gambar-gambar peristiwa dari koran yang sudah digunting-gunting, siswa diperbolehkan memilihnya sesuai dengan kemampuannya mengubah gambar tersebut menjadi puisi. (4) Siswa memperhatikan penjelasan guru bagaimana langkah-langkah menulis puisi bebas menggunakan gambar peristiwa dari koran.
Dalam kegiatan pembelajaran menulis puisi, sebelum kegiatan utama yakni  menulis puisi dilaksanakan siswa dilatih melalui beberapa tahapan. Tahapan kerja siswa dalam menulis puisi menggunakan gambar peristiwa adalah sebagai berikut: (a) mencermati gambar, (b) menentukan tema, (c) menentukan amanat/pesan moral, (d) mendata objek atau fakta, (e) Mengubah objek atau fakta dengan pilihan kata atau diksi lain, (f)  membuat judul puisi, dan (g) menyusun puisi. Agar kegiatan pembelajaran ini lebih bermakna bagi siswa dan bagi guru, maka perlu ditetapkan rubric penilaian sebagai penentu keberhasilan siswa dalam PBM yang telah berlangsung. Pembuatan rubrik penilaian ini boleh saja disepakati oleh guru dan siswa dan boleh juga dirancang oleh guru sendiri, tetapi harus dikomunikasikan kepada siswa sebab siswa harus mengetahui seperti apa penilaian yang akan dilakukan guru. Hal ini bermanfaat untuk pencitraan transparansi guru dalam memberi nilai. Berikut contoh rubrik penilaian menulis puisi mengguanakan gambar peristiwa.
Kriteria Penilaian:
1. Bentuk Puisi    Skor
a.    Jumlah bait 3 sampai 7 bait
b.    Jumlah baris satu bait 4 sampai 7 baris
c.    Jumlah kata satu baris 4 sampai 7 kata    1
1
1
2. Tema   
a.    Sesuai dengan gambar
b.   Tidak sesuai dengan gambar    1
0
3.    Pesan Moral   
a.    Disampaikan sesuai dengan isi gambar
b.    Disampaikan mendekati sesuai dengan isi gambar
c.    Disampaikan tidak sesuai dengan isi gambar    2
1
0
4. Mendata fakta yang terdapat dalam gambar   
      a.   Data fakta lengkap
      b.   Data fakta mendekati lengkap
      c.   Data fakta tidak lengkap    2
1
0
5. Mengubah fakta menjadi puisi dengan diksi/pilihan kata yang sesuai (kata kias, lambang/simbolik, gaya bahasa)   
a.    Semua fakta sesuai dengan pilihan kata
b.    Sebagian kecil fakta tidak sesuai dengan pilihan kata
c.    Sebagian besar fakta tidak sesuai dengan pilihan kata
     d.    Semua fakta tidak sesuai dengan pilihan kata    3
2
1
0
6. Sistematika Puisi   
a.    Urut-urutan sesuai
b.    Urut-urutan tidak sesuai     1
0
Total    12



C.    PENUTUP
Pembelajaran menulis puisi dengan model CIRC menggunakan gambar berbagai peristiwa yang terdapat dalam surat kabar ini sangat tepat dilaksanakan karena dapat menarik minat siswa dalam menulis puisi. Pembelajaran ini memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut.
a. Mudah dilaksanakan oleh setiap guru bahasa Indonesia di SMP
b. Materi ajar yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan siswa
c. Kegiatan pembelajaran benar-benar berpusat pada siswa sehingga siswa dapat menemukan jawaban sendiri (inkuiri) terhadap gambar peristiwa yang akan diubah menjadi puisi
d. Sangat efektif untuk mengembangkan kreativitas dan imajinasi siswa, berargumen dalam kelompok, memecahkan masalah dengan bekerja sama, dan berproses dalam kelompok yang heterogen.
e. Sangat efektif untuk menumbuhkan sikap kritis terhadap permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari
f. Sangat efektif untuk menumbuhkan sikap berani mengeluarkan pernyataan terhadap persoalan yang terjadi
g. Sangat efektif untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam menulis puisi

Pendidikan Berbudaya, Pendidikan Terkelola Oleh Nanda Evawandry, S.Pd. Guru SMP Negeri 33 Padang

Pendidikan bukanlah persiapan untuk kehidupan, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Demikian John Dewey menegaskan pemikirannya tentang pendidikan. Gaung globalisasi, yang sudah mulai terasa sejak akhir abad ke-20, telah membuat masyarakat dunia, termasuk bangsa Indonesia harus bersiap-siap menerima kenyataan masuknya pengaruh luar terhadap seluruh aspek kehidupan bangsa. Salah satu aspek yang terpengaruh adalah kebudayaan. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal (Latif, 2007). Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dalam berbagai hal, seperti keanekaragaman budaya, lingkungan alam, dan wilayah geografisnya. Keanekaragaman masyarakat Indonesia tersebut akan tercemin pula dalam sistem pendidikan yang dianut bangsa ini.
Pendidikan adalah pembudayaan, demikian yang disampaikan Fuad Hassan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menjelaskan tentang hubungan antara pendidikan dan kebudayaan (Widiastono, 2004). Pendidikan adalah proses pembentukan, pelestarian, dan pengembangan budaya dalam masyarakat. Pendidikan juga merupakan proses yang dirancang dan dilaksanakan agar masyarakat dapat menghasilkan produk berupa budaya. Dengan kata lain, pendidikan merupakan proses transformasi budaya. Jika kebudayaan diartikan sebagai produk masyarakat, maka pendidikan adalah prosesnya.
Untuk mewariskan budaya tersebut, proses pendidikan dilakukan melalui tiga proses yang saling kait-mengait yang tidak terpisahkan, yaitu: (1) pembiasaan (habit formation), (2) pengajaran dan pembelajaran (teaching and learning process), dan (3) peneladanan (role model) (Widiastono, 2004). Dengan demikian, pengertian pendidikan jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian pengajaran.
Pendidikan sebagai proses pembentukan kebiasaan terutama terjadi dalam pendidikan keluarga. Keluarga adalah lembaga pendidikan utama dan pertama. Namun demikian, pembentukan kebiasaan juga dapat dikembangkan secara sistematis di lingkungan sekolah. Dalam model sekolah berasrama misalnya, peserta didik akan dituntut untuk mengikuti pola-pola perilaku yang akan dibentuk oleh lembaga pendidikan itu. Tetapi perlu disadari bahwa pola-pola pembiasaan yang terjadi dalam keluarga akan lebih kuat dibandingkan pola-pola yang dibentuk di luar pendidikan keluarga.
Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Kebutuhan masyarakat bidang spiritual dan materiil sebagian besar dipenuhi oleh kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri. Hasil karya masyarakat melahirkan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama di dalam melindungi masyarakat terhadap lingkungan alamnya.
Aspek penting dalam perubahan budaya adalah tata nilai, oleh karena itu upaya membangun tatanan baru dalam pengelolaan sekolah atau pendidikan sesungguhnya merupakan upaya untuk membangun tata nilai baru yang erat kaitannya dengan perubahan sikap dan cara berpikir pihak-pihak yang terkait di dalamnya. Para pengambil kebijakan pendidikan pada tataran manajemen pendidikan pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten atau kota, serta sekolah atau satuan pendidikan harus memperhatikan keragaman kondisi, kecenderungan dan kecepatan perubahan, serta gejolak-gejolak sosial budaya yang ada dan terjadi di masyarakat. Aspek-aspek sosial budaya ini dapat menjadi isi kurikulum, bahan kajian yang melatarbelakangi kebijakan pendidikan, perencanaan dan pemecahan masalah-masalah pembangunan pendidikan, pengelompokan mata pelajaran atau bidang studi didasarkan atas dukungan keilmuwan, dan kompetensi yang diperlukan.
Dulu, seperti yang digagas oleh faounding fathers (Soekarno dan Muhammad Hatta) bahwa pendidikan merupakan salah satu sarana untuk melihat ragam budaya nasional. Namun, praktiknya kadang kebablasan hingga kadang-kadang budayanya sendiri terlupakan. Nah, dengan era otonomi pendidikan ini, sebagaimana yang diharapkan faounding fathers, adalah untuk mewujudkan kembali cita-cita dan harapan bangsa menjadi masyarakat yang berbudaya. Jika nilai-nilai budaya hilang dari proses pendidikan, maka dampaknya akan bisa kita rasakan pada generasi mendatang, yakni suatu generasi yang tidak memahami karakter budaya, yang cenderung menyeret kepada perbuatan negatif. Perbuatan negatif tidak saja bagi siswa, tetapi juga guru. Sudah terlalu sering dan muak rasanya kita mendengar tindak kekerasan, premanisme, konsumsi minuman keras, etika berlalu lintas, pencabulan siswa, kriminalitas yang semakin hari semakin menjadi-jadi telah mewarnai halaman surat kabar, majalah dan media massa lainnya.
 Tegasnya, pendidikan tidak mungkin terlepas dari budaya karena kebudayaan memberi rambu-rambu dan memberikan penghargaan serta sanksi (reward and punishment) dalam perkembangan pribadi. Pendidikan tidak terjadi di dalam ruang kosong atau di luar masyarakat. Sebagaimana setiap masyarakat memiliki budaya maka praksis pendidikan tidak terlepas dari kebudayaannya. Jika kita cermati secara mendalam, hakikat pendidikan dan budaya menampakkan hubungan sangat jelas sekali bahwa keduanya terdapat keterkaitan yang erat, bahkan terintegrasi secara praktis. Pendidikan dapat dirumuskan sebagai suatu proses hominisasi dan proses humanisasi yang berlangsung di dalam lingkungan keluarga serta masyarakat yang berbudaya.


Daftar Rujukan
Latif, Abdul. 2007. Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung: Refika Aditama.

Widiastono, Tonny D. 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

unsilster.com/2010/07/fungsi-dan-hakekat-kebudayaan/17 Juli 2010

Pendayagunaan Bahasa dan Budaya Dalam Mewujudkan Karakter Guru dan Siswa Oleh Nanda Evawandry, S.Pd. (Guru SMP Negeri 33 Padang)

A.    Pendahuluan

Pijakan utama bagi praktik yang bijak dari seorang pendidik terlatih... memberikan suatu kerangka yang kokoh untuk kontrol dan rutin serta bantuan nyata sesuai aturan-aturan sosial, namun tetap dengan kebebasan pribadi yang luas... (Kerangka) ini juga merupakan koreksi terhadap ide bahwa seorang anak tak akan pernah belajar jika ia dibentak atau dipukul, juga bagi gagasan bahwa ana tidak membutuhkan belajar, amun hanya menunjukkan kebaikannya (Susan Isaacs dalam Palmer, 2003:11)

    Isu global yang mencoreng wajah pendidikan Indonesia semakin hari tak dapat dikendalikan. Tindakan brutal sebagian besar pelajar menjadi tidak aneh lagi. Simak saja berita –berita yang kita dengar akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Tindakan tawuran antar pelajar, pelecehan terhadap teman, pemalakan di lingkungan sekolah, praktik seks sebelum nikah, aksi video mesum pelajar yang beredar di dunia maya, tindakan kekerasan terhadap guru, dan bentuk-bentuk tindakan lain yang amoral lainnya. Kondisi yang memiriskan hakikat sebuah pendidikan. Mau dibawa kemana pendidikan ini? Ada apa dengan pedidikan kita sekarang?

Fenomena sesungguhnya adalah pendidikan dewasa ini lebih mengelu-elukan kecakapan intelektual daripada kecakapan emosional dan spiritual. Banyak kasus yang menyatakan bahwa keberhasilan sebuah pendidikan ditentukan dengan kemampuan sebuah sekolah meluluskan siswanya, sehingga terkesan sekolah yang lebih sedikit tingkat kelulusannya dianggap gagal dalam pendidikan. Kondisi seperti ini seharusnya tidak terjadi, bila kita  tidak memandang  pendidikan dalam pemikiran yang sempit. Pendidikan itu sendiri seharusnya merupakan sebuah harmonisasi antara pengisian intelektual dengan emosional serta spiritual.

Banyak contoh di sekitar kita membuktikan bahwa orang yang memiliki kecerdasan otak saja, memiliki gelar tinggi, belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan. Seringkali justru yang berpendidikan formal yang rendah, ternyata lebih berhasil. Kemampuan akademik, nilai rapor, prediksi kelulusan pendidikan tidak bisa menjadi tolak ukur seberapa baik kinerja seseorang dalam pekerjaannya atau seberapa tinggi sukses yang dicapai (Agustian, 2005:41).

Ada tiga dimensi yang seharusnya disinergiskan pelaksanaannya dalam hidup dan pendidikan  agar diperoleh kebermaknaan,  yaitu dimensi intelektual, dimensi emosional, dan dimensi spiritual. Ketiga dimensi tersebut memperoleh persentase yang berbeda. Idealnya, persentase diberikan pada porposional yang tepat. Gabungan dimensi inilah yang akan membentuk karakter (caracter building). Seperti  pernyataan yang dikemukakan BC Gorbes dalam Agustian (2005:36)  bahwa ukuran tubuhmu tidak penting; ukuran otakmu cukup penting; ukuran hatimu itulah yang terpenting.


Apa Itu Karakter dan Apa Keterkaitannya dengan Dimensi Emosional dan Spiritual?

Menurut KUBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia), Karekter adalah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain (1984: 445). Agak berbeda pengertian karakter yang dikemukakan oleh Prayitno (2010: 24), beliau mendefinisikan karakter sebagai sifat pribadi yang relatif stabil pada diri individu yang menjadi landasan bagi penampilan perilaku dalam standar nilai dan norma yang tinggi. Berdasarkan kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa karakter berkaitan dengan budi pekerti, nilai dan moral, dan akhlak. Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nolai-nilai etika, serta meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. Lalu, apakah peredaran video mesum siswa SMA  di dunia maya tersebut memberi tanda kepada kita bahwa dunia pendidikan kehilangan akhlak, budi pekerti, serta nilai dan moral?

Akhlak dalam koridor Islam bukan semata-mata hanya bertumpu pada penilaian baik dan buruk, tetapi jauh dari itu untuk membersihkan jiwa dari pengaruh akhlak tercela. Hal ini disebabkan karena seseorang tidak dapat memperbiki akhlaknya sebelum menyucikan jiwanya terlebih dahulu. Hal yang paling mendasar akhlak adalah tingkah laku manusia yang berasal dari dorongan kemauannya sendiri dan tingkah laku yang bukan berasal dari kemauannya.

Agustian (2005:46) mengemukakan bahwa melatih kebiasaan kognitif umumnya lebih mudah dibandingkan melatih emosi. Melatih orang untuk mengoperasikan komputer, berhitung, menghafal daftar dan sederetan angka adalah salah satu contoh kebiasaan kognitif yang berasal dari otak kiri. Tetapi pelatihan yang membuat orang konsisten; memiliki komitmen; beritegrasi tinggi; berpikiran terbuka; bersikap jujur; memiliki prinsip; mempunyai visi; memiliki kepercayaan diri; bersikap adil; bijaksana; atau kreatif, adalah contoh kecerdasan emosi yang seharusnya juga dilatih dan dibentuk, tidak cukup hanya beberapa pelatihan kognitif seperti yang diprioritaskan selama ini.

Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana guru dan siswa berkarakter melalui media bahasa dan budaya dengan mensinergiskan tiga dimensi, yaitu intelegensi, emosional, dan spiritual. Tentu saja di tempat pertemuan antara guru dan siswa, yaitu di sekolah.


B.    Pembahasan

1.    Pendidikan Karakter

Pendidikan adalah upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan jasmani siswa (Ki Hajar Dewantara dalam Muslich, 2011). Menurut Muslich (2011:29), pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu melibatkan aspek teori pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona dalam Muslich (2011:29), tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan dalam pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat ditarik simpulan bahwa pendidikan karakter erupkan gabungan antara kognitif, karakter, dan tindakan.

Menurut Sirajuddin dalam Asmani (2011:26), istilah karakter baru dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan pada akhir abad ke- 18. Pencetusnya adalah FW. Foerster. Terminologi yang mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendidikan, yang  juga dikenal dengan teori pendidikan normatif. Lahirnya pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang karena hadirnya teori positivisme yang dipelopori oleh filsuf Prancis, Auguste Comte. Karakter merupakan jembatan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan tanpa dilandasi kepribadian yang benar akan menjadi sesat, dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menjadi hancur.

Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Anak yang tidak mendapatkan pendidikan karakter di rumah, tidak akan berkarakter baik pada tahap selanjutya. Nilai-nilai yang muncul pada manusia, sebenarnya merupakan upaya pencarian dan coba-coba manusia untuk menemukan arti hidup sesungguhnya. Pembangunan karakter tidaklah cukup hanya dimulai dan diakhiri dengan penetapan visi saja. Hal ini perlu dilanjutkan dengan proses yang dilakukan terus-menerus dan berlangsung sepanjang hidup. Proses ini merupakan langkah penyelarasan antara nilai-nilai dasar dan kenyataan hidup yang harus dihadapi.


2.    Guru dan Siswa Berkarakter

Pendidikan karakter merupakan usaha yang dilakukan guru untuk mempengaruhi karakter siswa. Guru membantu siswa dalam membentuk watak dengan cara memberi keteladanan, cara berbicara atau menyampaikan materi, toleransi, dan hal lain yang terkait. Menurut Ramli dalam asmani (2011:32) pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi siswa supaya menjadi manusia yang baik, yaitu yang menganut nilai-nilai sosial tertentu yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter di Indonesia adalah pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, yang bertujuan membina kepribadian siswa.

Bentuk karakter guru yang dikembangkan adalah keteladanan, inspirator, motivator, dinamisator, dan evaluator. Disamping itu guru perlu menyadari bahwa sosoknya merupakan idola bagi siswa mereka. Keberadaannya sebagai motor pendidikan tidak dapat disangkal lagi. Menurut Mulyasa dalam Asmani (2011:71) guru memiliki multifungsi. Guru tidak hanya sebagai pengajar, pembimbing, dan pelatih tetapi  juga sebagai penasihat, pendorong kreativitas, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pembawa cerita serta aktor.

Keteladanan

Keteladanan guru sangat penting dalam meujudkan pendidikan berkarakter. Sebab tanpa keteladan pendidikan karakter seperti kehilangan jiwa yang sangat penting. Keteladanan yang dibutuhkan siswa dari seorang guru berupa kekonsistenan dalam menjalankan syariah agama, kepedulian terhadap orang-orang yang tidak mampu, kegigihan dalam meraih prestasi secara individu dan sosial, ketahanan dalam menghadapi tantangan, rintangan, dan godaan, serta kecepatan dalam bergerak dan beraktualisasi. Serta diperlukan juga kecerdasan dalam membaca, memanfaatkan, dan mengembangkan peluang secara produktif dan kompetitif (Asmani, 2011:75).

Inspirator

Sebagai inspirator guru harus mampu membangkitkan semangat karena telah lebih dahulu merasakan perjuangan yang beragam untuk mencapai prestasi dan kesuksesan. Guru harus mampu menjadi penggerak segala potensi yang dimiliki dirinya dan siswa untuk meraih prestasi yang luar biasa untuk dirinya sendiri dan juga masyarakatnya. Jika guru mampu menjadi inspirator maka siswa akan mencurahkan segala upaya mereka untuk berprestasi.

Motivator

Guru sebagai motivator dapat dilihat pada kemampuan membangkitkan spirit, etos kerja, dan potensi yang luar biasa dalam diri siswa. Setiap anak adalah unik dan pintar memiliki bakat spesifik yang berbeda dengan anak yang lain. Tugas gurulah melahirkan potensi itu dengan berlatih, mengasah kemampuan, dan mengembangkan potensi semaksimal mungkin. Salah satu wadahnya adalah dengan menghadirkan wahana aktual sebanyak mungkin, misalnya dengan mengadakan lomba dan pentas seni. Logikanya, semakin banyak praktik, semakin baik dalam upaya melahirkan dan mengembangkan potensi.

Dinamisator

Kriteria guru yang dinamisator menurut Asmani (2011:80-81) adalah kaya gagasan dan pemikiran, serta mempunyai visi yang jauh ke depan; mempunyai kemampuan manajemen terstruktur, sistematis, fungsional, dan propesional; menpunyai jaringan yang luas sehingga bisa melangkah secara ekspansif dan eksploratif; mempunyai kemampuan sosial dan humaniora yang bagus, sebab pendekatan persuasif-humanis-emosional lebih efektif dalam memecahkan kebuntuan daripada sekadar formalis-organisatoris-legalis; mempunyai kreatifitas yang tinggi, khususnya dalam mencipta dan mencari solusi dari problem yang ada; mempunyai kematangan dalam berpolitik, antara fungsi stabilitator dan dinamisator; dan harus mengedepankan kaderisasi dan regenerasi. Selain itu menjadi guru yang dinamisator harus mampu mensinergiskan antara intelektual, emosional, dan spiritual sehingga memiliki ketahanan terhadap rintangan yang mengahadang.

Evaluator

Agar melengkapi peran-perang sebelumnya, guru harus dapat menjadi evaluator. Guru harus mampu mengevaluasi sikap dan perilaku yang ditampilkan, metode pembelajaran yang digunakan, dan agenda yang direncanakan. Evaluasi yang dimaksudkan di sini adalah wahana meninjau kembali efektivitas, efisiensi, dan produktivitas sebuah program, baik secara internal (melibatkan pihak-pihak yang terkait) maupun secara eksternal (melibatkan pihak luar yang berkepentingan). Aspek evaluasi ini perlu dilakukan karena membawa manfaat untuk menumbuhkan inovasi dan kreasi terhadap program yang disedang dijalankan.

Jadi, dengan dimilikinya lima kriteria di atas oleh guru, diharapkan guru dapat menjadi aktor sentral dalam pendidikan karakter agar siswa cepat menemukan bakat besarnya untuk mengasah kemampuannya secara tekun, kreatif, inovatif, dan produktif. Dengan demikian, pendidikan dapat menjembatani potensi individu untuk menghasilkan karya atau kreatifitas berkarakter.

Implikasi yang diharapkan dari kriteria guru yang berkarakter adalah melahirkan siswa yang berkarakter. Bentuk karakter yang diharapkan muncul pada siswa dari lima kriteria yang dijelaskan sebelumnya adalah berakhlak baik, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, agama, dan budaya, menghormati, menghargai, bekerja keras, pantang menyerah, aktif, kreatif, dan inovatif. Secara sederhana, kebiasaan siswa mengucapkan salam ketika bertemu guru, mencium tangan guru, berbicara dengan sopan, menyapa, melempar senyum, dan sebagainya adalah wujud karakter dasar yang hendaknya dimiliki siswa.


3.    Mengapa Perlu Pendidikan Karakter?

Perlu disadari ternyata pendidikan sudah mengalami pergeseran nilainya menuju pengajaran yang lebih cenderung mengagungkan angka (score). Kenyataan ini tanpa disadari kita telah menggiring siswa kita menjadi “robot” yang disiapkan untuk sekali atau dua kali pakai. Hal ini semakin terlihat menjelang ujian akhir sekolah, siswa dipolakan untuk mengikuti serangkain program yang tanpa kita sadari tindakan tersebut telah “membunuh” kebebasan mereka.

Hal ini terjadi karena memang pendidikan belum menjadi tempat untuk pembentukan karakter sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan. Pembelajaran yang terlalu kognitif mengubah orientasi belajar siswa menjadi peraih nilai tinggi saja. Hal ini dapat mendorong para siswa untuk mengejar nilai dengan cara yang tidak jujur. Apalagi jika siswa tidak melihat keterkaitan materi yang dipelajarnya dengan kehidupan nyata yang dialaminya. Sistem pendidikan yang seperti ini akan membuat siswa berpikir terkotak-kotak tidak dapat berpikir secara keseluruhan.

Psikolog Frieda dalam Muslich (2011:55) menuturkan bahwa kelebihan dan kekuatan seseorang jika tak disertai karakter yang baik, akan menjadi kekurangan dan kelemahan yang berdampak dua kali lebih besar daripada kelebihan dan kekuatan orang itu. Oleh karena itu, pendidikan saat ini dan akan datang, perlu sinergi antara hard skills dan soft skills. Kompetensi lulusan yang dihasilkan, ujarnya, harus mampu berpikir secara analitis dan logis, memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang mumpuni, bisa bekerja mandiri, serta dapat berkomunikasi lisan secara lacar.

Perlu penyadaran bahwa pendidikan adalah untuk membuat manusia baik dan smart, menjadi bijak, dan dapat menggunakan ilmunya untuk hal-hal yang baik (beramal shaleh) serta dapat hidup secara tepat  dalam aspek kehidupannya. Sistem pendidikan yang cocok untuk menjadi solusi adalah pendidikan yang dapat membentuk manusia berarakter. Pembentukan manusia berkarakter tentu melalui pendidikan berkarakter pula.

Mendiknas mengingatkan pentingnya pengembangan karakter pribadi sebagai basis untuk mencapai sukses. Karakter pribadi membentuk karakter bangsa, dimana karakter bangsa merupakan aspek penting untuk membentuk kualitas suatu bangsa. Kunci sukses dalam mengahadapi tantangan berat dalam hidup terletak pada kualitas sumber daya manusia yang handal dan berbudaya. Untuk itu perlu dipikirkn kualitas SDM sejak dini. 

Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja sama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang tepat dan dapat dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu pembangunan karakter perlu ditanamkan kepada perserta didik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sekolah  merupakan salah satu pilar penting untuk penyangga sistem sosial dan tatanan budaya yang berkarakter. Maka pendidikan yang diselenggarakan melalui sekolah semestinya dapat memberi makna sebagai strategi atau media tranformasi nilai-nilai berkarakter.

Dengan demikian, tujuan pendidikan karakter adalah usaha untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia siswa secara utuh, terpadu, dan seimbang . Melalui pendidikan karakter diharapkan siswa mampu secara mandiri meningkatkan dan meggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi, serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter akhlak mulia sehigga terwujud dalam perilaku sehari-hari (Muslisch, 2011:81).


4.    Desain Pendidikan Karakter

Doni Koesoema dalam Muslich (2011:90-91) menggariskan  pendidikan berkarakter memiliki tiga desain dalam memprogramakannya. Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter pada desain ini adalah proses rasionalitas komunitas kelas dalam konteks pembelajaran, yaitu relasi guru-siswa berdialog sehingga dapat memberikan pemahaman dan pengertian kepada siswa terhadap materi yang dihadapi, termasuk di dalamnya manajemen kelas dan konsensus kelas.

Kedua,   desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter siswa dengan bantuan sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam dirinya. Misalnya menanamkan nilai kejujuran, tidak hanya cukup dengan memberikan pesan-pesan moral kepada siswa melainkan harus dengan memberi keteladanan yang baik. Keteladan itu dapat diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten.

Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Sekolah tidak berjuang sendiri dalam mendidik. Masyarakat di luar lembaga pendidikan juga memiliki tanggung jawab mora terhadap pembentukan karakter. Terutama nilai-nilai kerukunan, nilai ketakwaan dan keimanan, nilai toleransi, serta nilai kebiasaan sehat pertama terwujud dalam keluarga sebagai bagian dari masyarakat. Pendidikan karakter akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara sinergis dan berkesinambungan.


5.    Berkarakter dengan Media Bahasa dan Budaya

Dalam pengertian praktis pendidikan dapat diartikan sebagai proses penyampian kebudayaan, termasuk di dalamnya keterampilan, pengetahuan, sikap-sikap, dan nilai-nilai, serta pola-pola perilaku tertentu. Dalam konsep kebudayaan yang dikemukakan oleh Tylor secara eksplisit disebutkan: pengetahuan (knowledge) dan kepercayaan (belief), yang secara implisit tercakup di dalamnya filsafat, agama, ilmu, dan kepercayaan-kepercayaan moral, yaitu ukuran baik dan buruk, benar dan salah, yang bermuara pada kompleks nilai-nilai (dalam Manan, 1989:9).

Terpuruknya bangsa kita dewasa ini tidak semata disebabkan oleh krisis ekonomi melainkan juga akibat krisis akhlak pada hampir semua aspek kehidupan. Fenomena ini mengisyaratkan bahwa dunia pendidikan telah melupakan tujuan utamanya yaitu mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara simultan dan seimbang. Disisi lain tidak dapat dimungkiri bahwa materi-materi yang seharusnya dapat mengembangakan karakter seperti Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, dan lainnya lebih banyak menekankan pada aspek kognitif daripada aspek afektif dan psikomotor.

Wujud kebudayaan sebagai pendukung nilai hidup meliputi beberapa hal, yaitu sebagai suatu kompleks dari ide-ide, pemikiran-pemikiran, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dan sebagainya. Semua hal tersebut mencerminkan alam pikiran yang memancarkan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat. Sementara pengembangan nilai-nilai tersebut didominisasi oleh bahasa. Bahasa merupakan mediator yang terbesar dan terampuh untuk menyebarkannya.

Bahasa sebagai sarana komunikasi, menjadi wadah utama dalam mentransformasi semua nilai-nilai budaya dan karakter bangsa kepada seluruh masyarakat. Dalam komunitas pendidikan, proses pentranformasian nilai-nilai berlangsung di sekolah. Bentuk komunikasi guru dengan siswa diantar oleh bahasa. Bahasa yang diharapkan muncul adalah bahasa yang berkarakter yang mengutamakan kesopanan, kejelasan, dan komunikatif.

Paling tidak ada beberapa alasan mengapa bahasa dan budaya dapat menjadi wadah transformasi nilai-nilai berkarakter. Pertama, melalui bahasa dan budaya dapat ditumbuhkembangkan daya intelektual agar dapat memahami konsep kebudayaan yang beragam, unik, dan partikular. Salah satu instrumennya adalah pelajaran kesusasteraan dan kesenian. Kedua, melalui bahasa dan budaya dapat membangun tatanan hidup bermasyarakat. Sarana untuk memainkan peran dan fungsi dalam memberi pemahaman dalam menstimulasi dan menumbuhkan pemikiran kritis untuk pengembangan gagasan-gagasan baru. Ketiga, melalui bahasa dan budaya dapat memperkuat integritas sosial politik dalam merangsang tumbuhnya kesadaran sosial dengan latar belakang sosial budaya yang berlainan. Ketiga alasan tersebut sesungguhnya sejalan dengan warisan  Kongres Pemuda yang memelopori gerakan nasional yang berlainan suku.


C.    Penutup

Nilai-nilai moral, akhlak mulia, etika, kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual yang sinergis dan simultan akan membentuk sebuah karakter. Pada era globalisasi yang multi krisis ini sangat diperlukan adanya suatu sistem yang dapat mentransformasi nilai-nilai tersebut sehingga dapat membentuk individu yang berkarakter. Sekolah sebagai salah satu wadah yang mempunyai andil besar dalam mentransformasi nilai-nilai tersebut, harus didukung oleh kesiapan untuk mewujudkannya.

Pendidikan karakter merupakan solusi yang tepat untuk menghapus coreng-moreng dalam dunia pendidikan akhir-akhir ini. Perwujudannya dapat dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Jika penanaman nilai-nilai itu telah tertanam dan membatin pada anak, maka akan tercermin dalam perilaku mereka sehari-hari.

Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja sama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang tepat dan dapat dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu pembangunan karakter perlu ditanamkan kepada perserta didik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sekolah  merupakan salah satu pilar penting untuk penyangga sistem sosial dan tatanan budaya yang berkarakter. Maka pendidikan yang diselenggarakan melalui sekolah semestinya dapat memberi makna sebagai strategi atau media tranformasi nilai-nilai berkarakter.

Guru sebagai aktor dalam mewujudkan pendidikan karakter di sekolah, harus memiliki karakter yang nantinya akan menumbuhkan karakter bagi siswanya. Bentuk-bentuk karakter yang sedaptnya dimiliki guru adalah keteladanan, motivator, inspirator, dinamisator, dan evaluator. Kelima karakter itu diharapkan akan menggiring siswa memiliki karakter juga. Bentuk karakter yang diharapkan muncul pada diri siswa adalah berakhlak baik, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, agama, dan budaya, menghormati, menghargai, bekerja keras, pantang menyerah, aktif, kreatif, dan inovatif.

Bahasa dan budaya merupakan media yang efektif untuk transformasi nilai-nilai karakter tersebut.  Dalam komunitas pendidikan, proses pentranformasian nilai-nilai berlangsung di sekolah. Bentuk komunikasi guru dengan siswa diantar oleh bahasa. Bahasa yang diharapkan muncul adalah bahasa yang berkarakter yang mengutamakan kesopanan, kejelasan, dan komunikatif.

Pendidikan berkarakter memiliki tiga desain dalam memprogramakannya. Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas, kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah, dan ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Pendidikan karakter akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara sinergis dan berkesinambungan.



D.    Komentar

Pendidikan karakter selayaknya dimulai dari lingkungan keluarga. Keluarga harus dapat memberikan kontribusi pada pendidikan budi pekerti. Jika seseorang sudah menpunyai budi pekerti yang luhur dalam keluarga, pastilah ia akan mampu mengatasi pengaruh yang tidak baik dari lingkungannya. Terutama menyangkut nilai kerukunan, ketakwaan dan keimanan, toleransi serta kebiasaan-kebiasaan baik dan sehat.

Tempat kedua pendidikan karakter itu adalah sekolah/madrasah. Membangun karakter dari pintu pendidikan harus dilakukan secara komprenhensif dan integral. Untuk itu hendaknya pemerintah memasukkan pendidikan karakter melalui kurikulum, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, sebagai bagian  dari sistem pendidikan nasional. Hal ini sudah mendesak harus dilakukan agar nilai-nilai budaya`dan karakter bangsa tetap melekat pada diri anak sehingga mereka tangguh mengahadapi pengaruh negatif dari lingkungan dan kemajuan ilmu dan teknologi.

Terakhir, tempat ketiga pengembangan karakter anak adalah lingkungan masyarakat umum. Masyarakat umum tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab moral pembentukan karakter. Masyarakat tempat anak lahir, tumbuh, dan berkembang akan selalu menjadi contoh bagi anak terhadap  nilai-nilai yang berkembang pada masyarakat itu. Oleh karenanya masyarakat diharap dapat memberi contoh yang baik terutama yang menyangkut pembentukan karakter anak.

Sebelum siswa diharapkan memiliki karakter, orang yang pertama berkarakter itu adalah orang tua dan guru. Jangan berharap siswa memiliki karakter secara alamiah tanpa keteladanan dari orang tua dan guru. Untuk itu jadilah guru yang berkarakter jika menginginkan siswa berkarakter...


DAFTAR RUJUKAN
    
Asmani, Jamal Ma’ruf. 2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Jogjakarta: Diva  Pres.

Muslisch, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.

Prayitno. 2010. Model Pendidikan Karakter-Cerdas. Padang: UNP Pres.

Aguatian, Ari Ginanjar. 2005. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual.
  Jakarta: Arga.

Palmer, Joy. A. 2003. 50 Pemikir Pendidikan. Yogyakarta: Jendela.

Manan, Imran. 1989. Dasar-Dasar Sosial Budaya Pendidikan. Jakarta: Direktorat pendidikan Tinggi Departeman Pendidikan dan Kebudayaan