9 Juli 2012

Pendayagunaan Bahasa dan Budaya Dalam Mewujudkan Karakter Guru dan Siswa Oleh Nanda Evawandry, S.Pd. (Guru SMP Negeri 33 Padang)

A.    Pendahuluan

Pijakan utama bagi praktik yang bijak dari seorang pendidik terlatih... memberikan suatu kerangka yang kokoh untuk kontrol dan rutin serta bantuan nyata sesuai aturan-aturan sosial, namun tetap dengan kebebasan pribadi yang luas... (Kerangka) ini juga merupakan koreksi terhadap ide bahwa seorang anak tak akan pernah belajar jika ia dibentak atau dipukul, juga bagi gagasan bahwa ana tidak membutuhkan belajar, amun hanya menunjukkan kebaikannya (Susan Isaacs dalam Palmer, 2003:11)

    Isu global yang mencoreng wajah pendidikan Indonesia semakin hari tak dapat dikendalikan. Tindakan brutal sebagian besar pelajar menjadi tidak aneh lagi. Simak saja berita –berita yang kita dengar akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Tindakan tawuran antar pelajar, pelecehan terhadap teman, pemalakan di lingkungan sekolah, praktik seks sebelum nikah, aksi video mesum pelajar yang beredar di dunia maya, tindakan kekerasan terhadap guru, dan bentuk-bentuk tindakan lain yang amoral lainnya. Kondisi yang memiriskan hakikat sebuah pendidikan. Mau dibawa kemana pendidikan ini? Ada apa dengan pedidikan kita sekarang?

Fenomena sesungguhnya adalah pendidikan dewasa ini lebih mengelu-elukan kecakapan intelektual daripada kecakapan emosional dan spiritual. Banyak kasus yang menyatakan bahwa keberhasilan sebuah pendidikan ditentukan dengan kemampuan sebuah sekolah meluluskan siswanya, sehingga terkesan sekolah yang lebih sedikit tingkat kelulusannya dianggap gagal dalam pendidikan. Kondisi seperti ini seharusnya tidak terjadi, bila kita  tidak memandang  pendidikan dalam pemikiran yang sempit. Pendidikan itu sendiri seharusnya merupakan sebuah harmonisasi antara pengisian intelektual dengan emosional serta spiritual.

Banyak contoh di sekitar kita membuktikan bahwa orang yang memiliki kecerdasan otak saja, memiliki gelar tinggi, belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan. Seringkali justru yang berpendidikan formal yang rendah, ternyata lebih berhasil. Kemampuan akademik, nilai rapor, prediksi kelulusan pendidikan tidak bisa menjadi tolak ukur seberapa baik kinerja seseorang dalam pekerjaannya atau seberapa tinggi sukses yang dicapai (Agustian, 2005:41).

Ada tiga dimensi yang seharusnya disinergiskan pelaksanaannya dalam hidup dan pendidikan  agar diperoleh kebermaknaan,  yaitu dimensi intelektual, dimensi emosional, dan dimensi spiritual. Ketiga dimensi tersebut memperoleh persentase yang berbeda. Idealnya, persentase diberikan pada porposional yang tepat. Gabungan dimensi inilah yang akan membentuk karakter (caracter building). Seperti  pernyataan yang dikemukakan BC Gorbes dalam Agustian (2005:36)  bahwa ukuran tubuhmu tidak penting; ukuran otakmu cukup penting; ukuran hatimu itulah yang terpenting.


Apa Itu Karakter dan Apa Keterkaitannya dengan Dimensi Emosional dan Spiritual?

Menurut KUBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia), Karekter adalah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain (1984: 445). Agak berbeda pengertian karakter yang dikemukakan oleh Prayitno (2010: 24), beliau mendefinisikan karakter sebagai sifat pribadi yang relatif stabil pada diri individu yang menjadi landasan bagi penampilan perilaku dalam standar nilai dan norma yang tinggi. Berdasarkan kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa karakter berkaitan dengan budi pekerti, nilai dan moral, dan akhlak. Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nolai-nilai etika, serta meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. Lalu, apakah peredaran video mesum siswa SMA  di dunia maya tersebut memberi tanda kepada kita bahwa dunia pendidikan kehilangan akhlak, budi pekerti, serta nilai dan moral?

Akhlak dalam koridor Islam bukan semata-mata hanya bertumpu pada penilaian baik dan buruk, tetapi jauh dari itu untuk membersihkan jiwa dari pengaruh akhlak tercela. Hal ini disebabkan karena seseorang tidak dapat memperbiki akhlaknya sebelum menyucikan jiwanya terlebih dahulu. Hal yang paling mendasar akhlak adalah tingkah laku manusia yang berasal dari dorongan kemauannya sendiri dan tingkah laku yang bukan berasal dari kemauannya.

Agustian (2005:46) mengemukakan bahwa melatih kebiasaan kognitif umumnya lebih mudah dibandingkan melatih emosi. Melatih orang untuk mengoperasikan komputer, berhitung, menghafal daftar dan sederetan angka adalah salah satu contoh kebiasaan kognitif yang berasal dari otak kiri. Tetapi pelatihan yang membuat orang konsisten; memiliki komitmen; beritegrasi tinggi; berpikiran terbuka; bersikap jujur; memiliki prinsip; mempunyai visi; memiliki kepercayaan diri; bersikap adil; bijaksana; atau kreatif, adalah contoh kecerdasan emosi yang seharusnya juga dilatih dan dibentuk, tidak cukup hanya beberapa pelatihan kognitif seperti yang diprioritaskan selama ini.

Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana guru dan siswa berkarakter melalui media bahasa dan budaya dengan mensinergiskan tiga dimensi, yaitu intelegensi, emosional, dan spiritual. Tentu saja di tempat pertemuan antara guru dan siswa, yaitu di sekolah.


B.    Pembahasan

1.    Pendidikan Karakter

Pendidikan adalah upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan jasmani siswa (Ki Hajar Dewantara dalam Muslich, 2011). Menurut Muslich (2011:29), pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu melibatkan aspek teori pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona dalam Muslich (2011:29), tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan dalam pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat ditarik simpulan bahwa pendidikan karakter erupkan gabungan antara kognitif, karakter, dan tindakan.

Menurut Sirajuddin dalam Asmani (2011:26), istilah karakter baru dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan pada akhir abad ke- 18. Pencetusnya adalah FW. Foerster. Terminologi yang mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendidikan, yang  juga dikenal dengan teori pendidikan normatif. Lahirnya pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang karena hadirnya teori positivisme yang dipelopori oleh filsuf Prancis, Auguste Comte. Karakter merupakan jembatan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan tanpa dilandasi kepribadian yang benar akan menjadi sesat, dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menjadi hancur.

Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Anak yang tidak mendapatkan pendidikan karakter di rumah, tidak akan berkarakter baik pada tahap selanjutya. Nilai-nilai yang muncul pada manusia, sebenarnya merupakan upaya pencarian dan coba-coba manusia untuk menemukan arti hidup sesungguhnya. Pembangunan karakter tidaklah cukup hanya dimulai dan diakhiri dengan penetapan visi saja. Hal ini perlu dilanjutkan dengan proses yang dilakukan terus-menerus dan berlangsung sepanjang hidup. Proses ini merupakan langkah penyelarasan antara nilai-nilai dasar dan kenyataan hidup yang harus dihadapi.


2.    Guru dan Siswa Berkarakter

Pendidikan karakter merupakan usaha yang dilakukan guru untuk mempengaruhi karakter siswa. Guru membantu siswa dalam membentuk watak dengan cara memberi keteladanan, cara berbicara atau menyampaikan materi, toleransi, dan hal lain yang terkait. Menurut Ramli dalam asmani (2011:32) pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi siswa supaya menjadi manusia yang baik, yaitu yang menganut nilai-nilai sosial tertentu yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter di Indonesia adalah pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, yang bertujuan membina kepribadian siswa.

Bentuk karakter guru yang dikembangkan adalah keteladanan, inspirator, motivator, dinamisator, dan evaluator. Disamping itu guru perlu menyadari bahwa sosoknya merupakan idola bagi siswa mereka. Keberadaannya sebagai motor pendidikan tidak dapat disangkal lagi. Menurut Mulyasa dalam Asmani (2011:71) guru memiliki multifungsi. Guru tidak hanya sebagai pengajar, pembimbing, dan pelatih tetapi  juga sebagai penasihat, pendorong kreativitas, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pembawa cerita serta aktor.

Keteladanan

Keteladanan guru sangat penting dalam meujudkan pendidikan berkarakter. Sebab tanpa keteladan pendidikan karakter seperti kehilangan jiwa yang sangat penting. Keteladanan yang dibutuhkan siswa dari seorang guru berupa kekonsistenan dalam menjalankan syariah agama, kepedulian terhadap orang-orang yang tidak mampu, kegigihan dalam meraih prestasi secara individu dan sosial, ketahanan dalam menghadapi tantangan, rintangan, dan godaan, serta kecepatan dalam bergerak dan beraktualisasi. Serta diperlukan juga kecerdasan dalam membaca, memanfaatkan, dan mengembangkan peluang secara produktif dan kompetitif (Asmani, 2011:75).

Inspirator

Sebagai inspirator guru harus mampu membangkitkan semangat karena telah lebih dahulu merasakan perjuangan yang beragam untuk mencapai prestasi dan kesuksesan. Guru harus mampu menjadi penggerak segala potensi yang dimiliki dirinya dan siswa untuk meraih prestasi yang luar biasa untuk dirinya sendiri dan juga masyarakatnya. Jika guru mampu menjadi inspirator maka siswa akan mencurahkan segala upaya mereka untuk berprestasi.

Motivator

Guru sebagai motivator dapat dilihat pada kemampuan membangkitkan spirit, etos kerja, dan potensi yang luar biasa dalam diri siswa. Setiap anak adalah unik dan pintar memiliki bakat spesifik yang berbeda dengan anak yang lain. Tugas gurulah melahirkan potensi itu dengan berlatih, mengasah kemampuan, dan mengembangkan potensi semaksimal mungkin. Salah satu wadahnya adalah dengan menghadirkan wahana aktual sebanyak mungkin, misalnya dengan mengadakan lomba dan pentas seni. Logikanya, semakin banyak praktik, semakin baik dalam upaya melahirkan dan mengembangkan potensi.

Dinamisator

Kriteria guru yang dinamisator menurut Asmani (2011:80-81) adalah kaya gagasan dan pemikiran, serta mempunyai visi yang jauh ke depan; mempunyai kemampuan manajemen terstruktur, sistematis, fungsional, dan propesional; menpunyai jaringan yang luas sehingga bisa melangkah secara ekspansif dan eksploratif; mempunyai kemampuan sosial dan humaniora yang bagus, sebab pendekatan persuasif-humanis-emosional lebih efektif dalam memecahkan kebuntuan daripada sekadar formalis-organisatoris-legalis; mempunyai kreatifitas yang tinggi, khususnya dalam mencipta dan mencari solusi dari problem yang ada; mempunyai kematangan dalam berpolitik, antara fungsi stabilitator dan dinamisator; dan harus mengedepankan kaderisasi dan regenerasi. Selain itu menjadi guru yang dinamisator harus mampu mensinergiskan antara intelektual, emosional, dan spiritual sehingga memiliki ketahanan terhadap rintangan yang mengahadang.

Evaluator

Agar melengkapi peran-perang sebelumnya, guru harus dapat menjadi evaluator. Guru harus mampu mengevaluasi sikap dan perilaku yang ditampilkan, metode pembelajaran yang digunakan, dan agenda yang direncanakan. Evaluasi yang dimaksudkan di sini adalah wahana meninjau kembali efektivitas, efisiensi, dan produktivitas sebuah program, baik secara internal (melibatkan pihak-pihak yang terkait) maupun secara eksternal (melibatkan pihak luar yang berkepentingan). Aspek evaluasi ini perlu dilakukan karena membawa manfaat untuk menumbuhkan inovasi dan kreasi terhadap program yang disedang dijalankan.

Jadi, dengan dimilikinya lima kriteria di atas oleh guru, diharapkan guru dapat menjadi aktor sentral dalam pendidikan karakter agar siswa cepat menemukan bakat besarnya untuk mengasah kemampuannya secara tekun, kreatif, inovatif, dan produktif. Dengan demikian, pendidikan dapat menjembatani potensi individu untuk menghasilkan karya atau kreatifitas berkarakter.

Implikasi yang diharapkan dari kriteria guru yang berkarakter adalah melahirkan siswa yang berkarakter. Bentuk karakter yang diharapkan muncul pada siswa dari lima kriteria yang dijelaskan sebelumnya adalah berakhlak baik, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, agama, dan budaya, menghormati, menghargai, bekerja keras, pantang menyerah, aktif, kreatif, dan inovatif. Secara sederhana, kebiasaan siswa mengucapkan salam ketika bertemu guru, mencium tangan guru, berbicara dengan sopan, menyapa, melempar senyum, dan sebagainya adalah wujud karakter dasar yang hendaknya dimiliki siswa.


3.    Mengapa Perlu Pendidikan Karakter?

Perlu disadari ternyata pendidikan sudah mengalami pergeseran nilainya menuju pengajaran yang lebih cenderung mengagungkan angka (score). Kenyataan ini tanpa disadari kita telah menggiring siswa kita menjadi “robot” yang disiapkan untuk sekali atau dua kali pakai. Hal ini semakin terlihat menjelang ujian akhir sekolah, siswa dipolakan untuk mengikuti serangkain program yang tanpa kita sadari tindakan tersebut telah “membunuh” kebebasan mereka.

Hal ini terjadi karena memang pendidikan belum menjadi tempat untuk pembentukan karakter sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan. Pembelajaran yang terlalu kognitif mengubah orientasi belajar siswa menjadi peraih nilai tinggi saja. Hal ini dapat mendorong para siswa untuk mengejar nilai dengan cara yang tidak jujur. Apalagi jika siswa tidak melihat keterkaitan materi yang dipelajarnya dengan kehidupan nyata yang dialaminya. Sistem pendidikan yang seperti ini akan membuat siswa berpikir terkotak-kotak tidak dapat berpikir secara keseluruhan.

Psikolog Frieda dalam Muslich (2011:55) menuturkan bahwa kelebihan dan kekuatan seseorang jika tak disertai karakter yang baik, akan menjadi kekurangan dan kelemahan yang berdampak dua kali lebih besar daripada kelebihan dan kekuatan orang itu. Oleh karena itu, pendidikan saat ini dan akan datang, perlu sinergi antara hard skills dan soft skills. Kompetensi lulusan yang dihasilkan, ujarnya, harus mampu berpikir secara analitis dan logis, memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang mumpuni, bisa bekerja mandiri, serta dapat berkomunikasi lisan secara lacar.

Perlu penyadaran bahwa pendidikan adalah untuk membuat manusia baik dan smart, menjadi bijak, dan dapat menggunakan ilmunya untuk hal-hal yang baik (beramal shaleh) serta dapat hidup secara tepat  dalam aspek kehidupannya. Sistem pendidikan yang cocok untuk menjadi solusi adalah pendidikan yang dapat membentuk manusia berarakter. Pembentukan manusia berkarakter tentu melalui pendidikan berkarakter pula.

Mendiknas mengingatkan pentingnya pengembangan karakter pribadi sebagai basis untuk mencapai sukses. Karakter pribadi membentuk karakter bangsa, dimana karakter bangsa merupakan aspek penting untuk membentuk kualitas suatu bangsa. Kunci sukses dalam mengahadapi tantangan berat dalam hidup terletak pada kualitas sumber daya manusia yang handal dan berbudaya. Untuk itu perlu dipikirkn kualitas SDM sejak dini. 

Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja sama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang tepat dan dapat dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu pembangunan karakter perlu ditanamkan kepada perserta didik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sekolah  merupakan salah satu pilar penting untuk penyangga sistem sosial dan tatanan budaya yang berkarakter. Maka pendidikan yang diselenggarakan melalui sekolah semestinya dapat memberi makna sebagai strategi atau media tranformasi nilai-nilai berkarakter.

Dengan demikian, tujuan pendidikan karakter adalah usaha untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia siswa secara utuh, terpadu, dan seimbang . Melalui pendidikan karakter diharapkan siswa mampu secara mandiri meningkatkan dan meggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi, serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter akhlak mulia sehigga terwujud dalam perilaku sehari-hari (Muslisch, 2011:81).


4.    Desain Pendidikan Karakter

Doni Koesoema dalam Muslich (2011:90-91) menggariskan  pendidikan berkarakter memiliki tiga desain dalam memprogramakannya. Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter pada desain ini adalah proses rasionalitas komunitas kelas dalam konteks pembelajaran, yaitu relasi guru-siswa berdialog sehingga dapat memberikan pemahaman dan pengertian kepada siswa terhadap materi yang dihadapi, termasuk di dalamnya manajemen kelas dan konsensus kelas.

Kedua,   desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter siswa dengan bantuan sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam dirinya. Misalnya menanamkan nilai kejujuran, tidak hanya cukup dengan memberikan pesan-pesan moral kepada siswa melainkan harus dengan memberi keteladanan yang baik. Keteladan itu dapat diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten.

Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Sekolah tidak berjuang sendiri dalam mendidik. Masyarakat di luar lembaga pendidikan juga memiliki tanggung jawab mora terhadap pembentukan karakter. Terutama nilai-nilai kerukunan, nilai ketakwaan dan keimanan, nilai toleransi, serta nilai kebiasaan sehat pertama terwujud dalam keluarga sebagai bagian dari masyarakat. Pendidikan karakter akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara sinergis dan berkesinambungan.


5.    Berkarakter dengan Media Bahasa dan Budaya

Dalam pengertian praktis pendidikan dapat diartikan sebagai proses penyampian kebudayaan, termasuk di dalamnya keterampilan, pengetahuan, sikap-sikap, dan nilai-nilai, serta pola-pola perilaku tertentu. Dalam konsep kebudayaan yang dikemukakan oleh Tylor secara eksplisit disebutkan: pengetahuan (knowledge) dan kepercayaan (belief), yang secara implisit tercakup di dalamnya filsafat, agama, ilmu, dan kepercayaan-kepercayaan moral, yaitu ukuran baik dan buruk, benar dan salah, yang bermuara pada kompleks nilai-nilai (dalam Manan, 1989:9).

Terpuruknya bangsa kita dewasa ini tidak semata disebabkan oleh krisis ekonomi melainkan juga akibat krisis akhlak pada hampir semua aspek kehidupan. Fenomena ini mengisyaratkan bahwa dunia pendidikan telah melupakan tujuan utamanya yaitu mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara simultan dan seimbang. Disisi lain tidak dapat dimungkiri bahwa materi-materi yang seharusnya dapat mengembangakan karakter seperti Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, dan lainnya lebih banyak menekankan pada aspek kognitif daripada aspek afektif dan psikomotor.

Wujud kebudayaan sebagai pendukung nilai hidup meliputi beberapa hal, yaitu sebagai suatu kompleks dari ide-ide, pemikiran-pemikiran, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dan sebagainya. Semua hal tersebut mencerminkan alam pikiran yang memancarkan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat. Sementara pengembangan nilai-nilai tersebut didominisasi oleh bahasa. Bahasa merupakan mediator yang terbesar dan terampuh untuk menyebarkannya.

Bahasa sebagai sarana komunikasi, menjadi wadah utama dalam mentransformasi semua nilai-nilai budaya dan karakter bangsa kepada seluruh masyarakat. Dalam komunitas pendidikan, proses pentranformasian nilai-nilai berlangsung di sekolah. Bentuk komunikasi guru dengan siswa diantar oleh bahasa. Bahasa yang diharapkan muncul adalah bahasa yang berkarakter yang mengutamakan kesopanan, kejelasan, dan komunikatif.

Paling tidak ada beberapa alasan mengapa bahasa dan budaya dapat menjadi wadah transformasi nilai-nilai berkarakter. Pertama, melalui bahasa dan budaya dapat ditumbuhkembangkan daya intelektual agar dapat memahami konsep kebudayaan yang beragam, unik, dan partikular. Salah satu instrumennya adalah pelajaran kesusasteraan dan kesenian. Kedua, melalui bahasa dan budaya dapat membangun tatanan hidup bermasyarakat. Sarana untuk memainkan peran dan fungsi dalam memberi pemahaman dalam menstimulasi dan menumbuhkan pemikiran kritis untuk pengembangan gagasan-gagasan baru. Ketiga, melalui bahasa dan budaya dapat memperkuat integritas sosial politik dalam merangsang tumbuhnya kesadaran sosial dengan latar belakang sosial budaya yang berlainan. Ketiga alasan tersebut sesungguhnya sejalan dengan warisan  Kongres Pemuda yang memelopori gerakan nasional yang berlainan suku.


C.    Penutup

Nilai-nilai moral, akhlak mulia, etika, kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual yang sinergis dan simultan akan membentuk sebuah karakter. Pada era globalisasi yang multi krisis ini sangat diperlukan adanya suatu sistem yang dapat mentransformasi nilai-nilai tersebut sehingga dapat membentuk individu yang berkarakter. Sekolah sebagai salah satu wadah yang mempunyai andil besar dalam mentransformasi nilai-nilai tersebut, harus didukung oleh kesiapan untuk mewujudkannya.

Pendidikan karakter merupakan solusi yang tepat untuk menghapus coreng-moreng dalam dunia pendidikan akhir-akhir ini. Perwujudannya dapat dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Jika penanaman nilai-nilai itu telah tertanam dan membatin pada anak, maka akan tercermin dalam perilaku mereka sehari-hari.

Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja sama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang tepat dan dapat dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu pembangunan karakter perlu ditanamkan kepada perserta didik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sekolah  merupakan salah satu pilar penting untuk penyangga sistem sosial dan tatanan budaya yang berkarakter. Maka pendidikan yang diselenggarakan melalui sekolah semestinya dapat memberi makna sebagai strategi atau media tranformasi nilai-nilai berkarakter.

Guru sebagai aktor dalam mewujudkan pendidikan karakter di sekolah, harus memiliki karakter yang nantinya akan menumbuhkan karakter bagi siswanya. Bentuk-bentuk karakter yang sedaptnya dimiliki guru adalah keteladanan, motivator, inspirator, dinamisator, dan evaluator. Kelima karakter itu diharapkan akan menggiring siswa memiliki karakter juga. Bentuk karakter yang diharapkan muncul pada diri siswa adalah berakhlak baik, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, agama, dan budaya, menghormati, menghargai, bekerja keras, pantang menyerah, aktif, kreatif, dan inovatif.

Bahasa dan budaya merupakan media yang efektif untuk transformasi nilai-nilai karakter tersebut.  Dalam komunitas pendidikan, proses pentranformasian nilai-nilai berlangsung di sekolah. Bentuk komunikasi guru dengan siswa diantar oleh bahasa. Bahasa yang diharapkan muncul adalah bahasa yang berkarakter yang mengutamakan kesopanan, kejelasan, dan komunikatif.

Pendidikan berkarakter memiliki tiga desain dalam memprogramakannya. Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas, kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah, dan ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Pendidikan karakter akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara sinergis dan berkesinambungan.



D.    Komentar

Pendidikan karakter selayaknya dimulai dari lingkungan keluarga. Keluarga harus dapat memberikan kontribusi pada pendidikan budi pekerti. Jika seseorang sudah menpunyai budi pekerti yang luhur dalam keluarga, pastilah ia akan mampu mengatasi pengaruh yang tidak baik dari lingkungannya. Terutama menyangkut nilai kerukunan, ketakwaan dan keimanan, toleransi serta kebiasaan-kebiasaan baik dan sehat.

Tempat kedua pendidikan karakter itu adalah sekolah/madrasah. Membangun karakter dari pintu pendidikan harus dilakukan secara komprenhensif dan integral. Untuk itu hendaknya pemerintah memasukkan pendidikan karakter melalui kurikulum, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, sebagai bagian  dari sistem pendidikan nasional. Hal ini sudah mendesak harus dilakukan agar nilai-nilai budaya`dan karakter bangsa tetap melekat pada diri anak sehingga mereka tangguh mengahadapi pengaruh negatif dari lingkungan dan kemajuan ilmu dan teknologi.

Terakhir, tempat ketiga pengembangan karakter anak adalah lingkungan masyarakat umum. Masyarakat umum tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab moral pembentukan karakter. Masyarakat tempat anak lahir, tumbuh, dan berkembang akan selalu menjadi contoh bagi anak terhadap  nilai-nilai yang berkembang pada masyarakat itu. Oleh karenanya masyarakat diharap dapat memberi contoh yang baik terutama yang menyangkut pembentukan karakter anak.

Sebelum siswa diharapkan memiliki karakter, orang yang pertama berkarakter itu adalah orang tua dan guru. Jangan berharap siswa memiliki karakter secara alamiah tanpa keteladanan dari orang tua dan guru. Untuk itu jadilah guru yang berkarakter jika menginginkan siswa berkarakter...


DAFTAR RUJUKAN
    
Asmani, Jamal Ma’ruf. 2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Jogjakarta: Diva  Pres.

Muslisch, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.

Prayitno. 2010. Model Pendidikan Karakter-Cerdas. Padang: UNP Pres.

Aguatian, Ari Ginanjar. 2005. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual.
  Jakarta: Arga.

Palmer, Joy. A. 2003. 50 Pemikir Pendidikan. Yogyakarta: Jendela.

Manan, Imran. 1989. Dasar-Dasar Sosial Budaya Pendidikan. Jakarta: Direktorat pendidikan Tinggi Departeman Pendidikan dan Kebudayaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar