9 Juli 2012

Pendidikan Berbudaya, Pendidikan Terkelola Oleh Nanda Evawandry, S.Pd. Guru SMP Negeri 33 Padang

Pendidikan bukanlah persiapan untuk kehidupan, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Demikian John Dewey menegaskan pemikirannya tentang pendidikan. Gaung globalisasi, yang sudah mulai terasa sejak akhir abad ke-20, telah membuat masyarakat dunia, termasuk bangsa Indonesia harus bersiap-siap menerima kenyataan masuknya pengaruh luar terhadap seluruh aspek kehidupan bangsa. Salah satu aspek yang terpengaruh adalah kebudayaan. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal (Latif, 2007). Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dalam berbagai hal, seperti keanekaragaman budaya, lingkungan alam, dan wilayah geografisnya. Keanekaragaman masyarakat Indonesia tersebut akan tercemin pula dalam sistem pendidikan yang dianut bangsa ini.
Pendidikan adalah pembudayaan, demikian yang disampaikan Fuad Hassan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menjelaskan tentang hubungan antara pendidikan dan kebudayaan (Widiastono, 2004). Pendidikan adalah proses pembentukan, pelestarian, dan pengembangan budaya dalam masyarakat. Pendidikan juga merupakan proses yang dirancang dan dilaksanakan agar masyarakat dapat menghasilkan produk berupa budaya. Dengan kata lain, pendidikan merupakan proses transformasi budaya. Jika kebudayaan diartikan sebagai produk masyarakat, maka pendidikan adalah prosesnya.
Untuk mewariskan budaya tersebut, proses pendidikan dilakukan melalui tiga proses yang saling kait-mengait yang tidak terpisahkan, yaitu: (1) pembiasaan (habit formation), (2) pengajaran dan pembelajaran (teaching and learning process), dan (3) peneladanan (role model) (Widiastono, 2004). Dengan demikian, pengertian pendidikan jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian pengajaran.
Pendidikan sebagai proses pembentukan kebiasaan terutama terjadi dalam pendidikan keluarga. Keluarga adalah lembaga pendidikan utama dan pertama. Namun demikian, pembentukan kebiasaan juga dapat dikembangkan secara sistematis di lingkungan sekolah. Dalam model sekolah berasrama misalnya, peserta didik akan dituntut untuk mengikuti pola-pola perilaku yang akan dibentuk oleh lembaga pendidikan itu. Tetapi perlu disadari bahwa pola-pola pembiasaan yang terjadi dalam keluarga akan lebih kuat dibandingkan pola-pola yang dibentuk di luar pendidikan keluarga.
Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Kebutuhan masyarakat bidang spiritual dan materiil sebagian besar dipenuhi oleh kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri. Hasil karya masyarakat melahirkan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama di dalam melindungi masyarakat terhadap lingkungan alamnya.
Aspek penting dalam perubahan budaya adalah tata nilai, oleh karena itu upaya membangun tatanan baru dalam pengelolaan sekolah atau pendidikan sesungguhnya merupakan upaya untuk membangun tata nilai baru yang erat kaitannya dengan perubahan sikap dan cara berpikir pihak-pihak yang terkait di dalamnya. Para pengambil kebijakan pendidikan pada tataran manajemen pendidikan pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten atau kota, serta sekolah atau satuan pendidikan harus memperhatikan keragaman kondisi, kecenderungan dan kecepatan perubahan, serta gejolak-gejolak sosial budaya yang ada dan terjadi di masyarakat. Aspek-aspek sosial budaya ini dapat menjadi isi kurikulum, bahan kajian yang melatarbelakangi kebijakan pendidikan, perencanaan dan pemecahan masalah-masalah pembangunan pendidikan, pengelompokan mata pelajaran atau bidang studi didasarkan atas dukungan keilmuwan, dan kompetensi yang diperlukan.
Dulu, seperti yang digagas oleh faounding fathers (Soekarno dan Muhammad Hatta) bahwa pendidikan merupakan salah satu sarana untuk melihat ragam budaya nasional. Namun, praktiknya kadang kebablasan hingga kadang-kadang budayanya sendiri terlupakan. Nah, dengan era otonomi pendidikan ini, sebagaimana yang diharapkan faounding fathers, adalah untuk mewujudkan kembali cita-cita dan harapan bangsa menjadi masyarakat yang berbudaya. Jika nilai-nilai budaya hilang dari proses pendidikan, maka dampaknya akan bisa kita rasakan pada generasi mendatang, yakni suatu generasi yang tidak memahami karakter budaya, yang cenderung menyeret kepada perbuatan negatif. Perbuatan negatif tidak saja bagi siswa, tetapi juga guru. Sudah terlalu sering dan muak rasanya kita mendengar tindak kekerasan, premanisme, konsumsi minuman keras, etika berlalu lintas, pencabulan siswa, kriminalitas yang semakin hari semakin menjadi-jadi telah mewarnai halaman surat kabar, majalah dan media massa lainnya.
 Tegasnya, pendidikan tidak mungkin terlepas dari budaya karena kebudayaan memberi rambu-rambu dan memberikan penghargaan serta sanksi (reward and punishment) dalam perkembangan pribadi. Pendidikan tidak terjadi di dalam ruang kosong atau di luar masyarakat. Sebagaimana setiap masyarakat memiliki budaya maka praksis pendidikan tidak terlepas dari kebudayaannya. Jika kita cermati secara mendalam, hakikat pendidikan dan budaya menampakkan hubungan sangat jelas sekali bahwa keduanya terdapat keterkaitan yang erat, bahkan terintegrasi secara praktis. Pendidikan dapat dirumuskan sebagai suatu proses hominisasi dan proses humanisasi yang berlangsung di dalam lingkungan keluarga serta masyarakat yang berbudaya.


Daftar Rujukan
Latif, Abdul. 2007. Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung: Refika Aditama.

Widiastono, Tonny D. 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

unsilster.com/2010/07/fungsi-dan-hakekat-kebudayaan/17 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar